Oleh: Clara Oktavia Utami
Aristoteles nama yang tidak asing bagi sebagian orang,terutama seseorang yang tertarik di dunia filsafat. Beliau adalah salah satu dari filosof yunani periode klasik yang berpengaruh dalam sejarah pemikiran Barat.
Aristoteles lahir di Stagira salah satu kota di wilayah Chalchidice, Thracia, Yunani (dulu termasuk wilayah Makodonia), pada tahun 384 SM (Sebelum Masehi) dan meninggal pada tahun 322 SM (Sebelum Masehi).
Etika aristoteles pada dasarnya serupa dengan Plato dan Socrates, yakni ingin mencapai eudemonia; kebahagian sebagai “barang yang tertinggi” dalam kehidupan. Akan tetapi pada akhirnya Aristoteles tidak bertanya tentang apa yang dikemukakan Socrates tentang budi dan perilaku.
Aristoteles berpandangan bahwa kebaikan yang dicapai oleh manusia itu sesuai dengan derajatnya, gendernya, kedudukannya, dan pekerjaannya.
Aristoteles berkata bahwa tujuan hidup bukanlah tentang mencapai kebaikan demi kebaikan melainkan merasakan kebahagian.
Jadi, di sini, perasaan bahagia menjadi indikator apakah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia itu sudah mencapai tujuannya atau belum.
Jika manusia melakukan sesuatu, lalu setelahnya ia merasa tidak bahagia, maka menurut Aristoteles, manusia tersebut sedang mengerjakan sesuatu yang tidak baik.
Demikian juga sebaliknya, jika manusia itu sudah melakukan sesuatu dan setelahnya ia merasakan kebahagiaan, maka dapat dipastikan bahwa sesuatu yang ia lakukan tadi adalah sebuah kebaikan. Intinya perbuatan baik akan menimbulkan kebahagiaan bagi orang yang melakukannya.
Contoh dari konsep di atas, dapat dilihat pada konteks berikut ini: untuk seorang dokter kesehatanlah yang terbaik.
Sedangkan bagi seorang tentara, ketentraman negara yang terbaik, dan bagi seorang pengusaha kemakmuranlah yang terbaik. Sehingga dapat disimpulkan yang menjadi ukuran tujuan bukanlah mengetahui melainkan berbuat.
Dokter tidak akan mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan jika ia tidak berbuat sesuatu untuk kesembuhan atau menyelamatkan pasiennya yang kritis.
Seorang mahasiswa tentunya tidak akan mendapatkan kebahagiaan apabila ia tidak berbuat dan bertindak sesuatu untuk menyelesaikan studinya. Arsitoteles dalam hal ini menyatukan dalam satu paket antara kebahagiaan dengan tindakan. Tidak aka nada kebahagiaan tanpa di awali dengan tindakan nyata.
Menurut Aristoteles manusia adalah makhluk jasmani yang memiliki materi dan fisik yang tidak dapat dipisahkan. Aristoteles beranggapan bahwa bentuk manusia yaitu jiwa dan materinya yang selalu berdampingan.
Aristoteles beranggapan bahwa sebuah benda yang konkret memiliki bentuk dan materi, Kesimpulannya adalah tidak setiap materi berpacu pada fisik saja melainkan bisa menyatu juga dengan hal yang metafisik.
Dari sini dapat dikatakan bahwa manusia memiliki unsur jasmani dan rohani. Jika dikaitkan dengan konsep Islam, maka rohani manusia itulah selaku “instrument” yang ada dalam tubuh manusia untuk mendeteksi apakah perbuatan manusia ini baik atau tidak baik.
Aristoteles dari awal telah memikirkan bahwa dibalik sesuatu yang fisikal, selalu ada sesuatu yang metafisikal.
Jasad manusia yang fisik, juga dikonstruksi oleh jiwa yang metafisik. Kadangkala manusia hanya berfokus kepada yang fisik atau yang nampak saja.
Padahal ada sesuatu yang matafisik yang juga harus diperhatikan. Manusia sejati akan menggunakan potensi fisik dan metafisik untuk mempelajari alam semesta dan untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada.
Jika dikaitkan antara pemikiran Aristoteles dengan pemikiran Islam misalnya, Nampak adanya titik temu. Di mana pada konteks ini, manusia yang menyadari bahwa adanya Tuhan dalam kehidupan ini tentunya ia akan selalu merasa diawasi oleh Tuhan dan oleh sebab itu, ia akan malu jika melakukan sesuatu yang melanggar sopan santun apalagi melanggar agama.
Sebaiknya, jika manusia tidak menyadari bahwa Tuhan itu ada dan selalu mengawasi manusia, maka efeknya adalah manusia akan liberal dan merasa bebas untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian, pemikiran Aristoteteles tersebut memiliki efek edukasi moralitas bagi manusia hari ini. Hendaknya manusia selalu berbuat kebaikan karena adanya kesadaran akan eksistensi dia sebagai manusia yang memiliki potensi akal dan jiwa yang sudah diberikan oleh Tuhan.
Jika ini dimengerti oleh setiap manusia, maka manusia akan menjadi orang yang memahami etika kehidupan.
Penulis adalah Mahasiswi Prodi AFI UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi Angkatan 2020
Discussion about this post