Oleh: Zikri Fernando
Al-Kindi memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi. Beliau lahir di Kufah (Sekarang bernama Iraq) pada 801 Masehi, pada masa khalifah harun Al_Rasyid (786-809 M) dari Dinasti Bani Abbas (750-1258 M). Al-Kindi adalah seorang filosof pertama dalam Islam yang menyelaraskan antara agama dan filsafat.
Al-Kindi melewati masa kecilnya di Kufah dengan mempelajari ilmu agama, seperti: menghafal al-Qur’an, mempelajari tata bahasa Arab, kesusastraan Arab dan ilmu hitung, dan juga ilmu lainnya, termasuk Ilmu Kalam.
Menurutnya Filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu dalam batas kesanggupan manusia yang meliputi ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun yang berguna bagi kehidupan manusia.
Al-Kindi juga berpandangan bahwa tujuan para filosof dalam berteori adalah mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan amal perbuatan dalam tindakan. Semakin dekat manusia pada kebenaran, akan semakin dekat pula pada kesempurnaan.
Pernyataan Al-Kindi tersebut jika ditilik lebih jauh lagi mengajarkan kepada konsep pentingnya mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Namun demikian, ilmu yang tinggi saja tidak cukup jika tidak ditindaklanjuti dengan amal perbuatan.
Hal ini sering kita istilahkan dengan sebutan teori dan praktek. Akal dalam pemikiran Al-Kindi tidak boleh hanya berhenti pada fase berteori semata-mata, melainkan proses berpikir lewat akal tersebut harus terus diupayakan sampai kepada praktek dan manfaat praktisnya bagi maslahat (kebaikan) ummat manusia.
Ada banyak macam pemikiran dari Al-Kindi, salah satunya yang akan di bahas dalam artikel ini adalah pemikiran tentang jiwa dan akal. Dalam artikel ini, akan dikupas mengenai konsep tersebut.
Menurut Al-Kindi, jiwa atau roh tidak tersusun, tetapi mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Tuhan dan hubungannya dengan manusia sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Karena pada hakikatnya bersifat Ilahi dan spiritual, maka jiwa berbeda dengan tubuh dan bahkan bertentangan dengannya.
Pemikiran Al-Kindi di pelopori oleh Aristoteles, Plato dan Plotinus. Konsep jiwa menurut beliau yaitu: “Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik, atau kesempatan fisik alami yang mempunyai alat dan mengalami kehidupan.” Sederhananya dapat dipahami bahwa jiwa adalah substansi yang ada pada tubuh manusia, tanpa adanya jiwa, maka tubuh tidak dapat memiliki daya untuk melakukan sesuatu.
Menurut Al-Kindi sendiri jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan. Jiwa tidak hancur karena substansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Baru setelah ia berpisah dengan badan, ia akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Konsep ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh filsuf modern, bernama Suhrawardi Al-Maqtul.
Jiwa dan akal mempunyai masing-masing tiga daya yakni sebagai berikut: 1) Daya berpikir “al-quwwah al-‘aqliyah” 2) Daya marah “al-quwwah al-ghodabiyah”, dan 3) Daya syahwat “al-quwwah al-shahwaniyah”. Sedangkan akal menurut Al-Kindi dibagi menjadi tiga juga yaitu: 1) Akal yang masih mempunyai potensial, 2) Akal yang telah keluar dari potensial menjadi aktual, dan 3) Akal yang telah mencapai tingkat kedua.
Jika di tarik kesimpulanya dari akal dan jiwa tersebut bagi Al-Kindi memiliki hubungan yang erat, karena di dalam jiwa manusia terdapat daya berpikir. Sedangkan manusia memiliki akal yang juga digunakan untuk berpikir. Oleh sebab itu, antara jiwa dan akal sama-sama memiliki kemampuan untuk memikirkan sesuatu. Hanya saja yang membedakannya, jiwa itu kekal sedangkan akal akan hancur.
Relevansi pemikiran Al-Kindi dalam konteks kekinian yaitu memberikan wawasan atau kesadaran bagi manusia bahwasanya antara jiwa dan akal harus saling diberikan hak nya oleh manusia. Manusia yang menyadari konsep akal dan jiwa, ia akan memberi “makan” akal dengan cara berpikir, dan memberi “makan” jiwa dengan cara berdzikir. Orang-orang yang menjalani hidupnya dengan berpikir dan berdzikir, akan mendapatkan ketenagan sejati dalam menjalani kehidupan ini.
Penulis adalah Mahasiswa Prodi AFI UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Angkatan Tahun 2020
Discussion about this post