Aksara24.id – Identitas melayu secara historis dan kebahasaan telah banyak memberikan sumbangsih dalam pembangunan di wilayah Asia Tenggara. Kesadaran etnis sebagai orang Melayu, menjadikan identitas ini tidak hanya dipandang sebagai jatidiri dalam wilayah tertentu, melainkan lebih luas melampaui batasan antar negara (transboundary-identity).
Tema melayu pertama kali muncul dalam literatur sejarah Dinasti tahun 644/645 Masehi. Alkisah utusan dari negeri Mo-lo-yeu datang mengunjungi istana Kekaisaran Cina di Tiongkok. Toponim Mo-lo-yeu diidentifikasikan sebagai Melayu yang letaknya di pantai timur Pulau Sumatera, berpusat di sekitar Jambi atau sungai Batanghari.
Dalam perjalanannya, terma “Melayu” mengalami jatuh bangun transformasi makna. Ia bukan hanya membesar sebagai penanda bagi identitas, etnisitas, dan kesadaran budaya kawasan serumpun, namun juga mengalami pelemahan dengan atribusi yang pejoratif. Adalah hal yang kerap kita dengar dalam percakapan di warung kopi, terminal, pelabuhan dan ruang-ruang publik lainnya yang melekatkan “melayu” dengan karakter tertentu.
Mentalitas tempe, pemalas, bar-bar hanyalah beberapa diantaranya yang bisa disebut. Pemaknaan serupa ini jelas berbahaya bagi tumbung kembang karakter generasi muda melayu yang sejak dini terpapar citra pejoratif ini. Identitas melayu menjadi semacam cemooh, bersanding iring dengan kerja keras menunjukkan kemegahan dan kegemilangan seni budayanya.
Bantahan terhadap atribusi pejoratif ini bukan hanya sebatas wacana, tapi teroka atas warisan karya budaya melayu yang gilang gemilang seperti seni tari, musik, manuskrip dan hikayat serta jejak arkeologisnya, tak mungkin dihasilkan oleh bangsa bermental lemah.
Di sisi lain, perkembangan etnis melayu membentuk berbagai irisan peristiwa, termasuk bahasa dan budaya dalam integrasi sosial melalui sandang, pangan, dan papan, kemudian pola pikir dan filosofi hidup masyarakat itu sendiri. Selain bahasa, banyak kesamaan yang dimiliki dan saling beririsan antara wilayah Thailand bagian selatan, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Indonesia yang memiliki tradisi agraris dan maritim yang kuat. Daya hidup dan pengaruhnya yang kuat, menjangkau hingga Afrika selatan.
Kenduri Film Serumpun Melayu, selain dimaksudkan sebagai jembatan diplomatik kebudayaan yang mempertemukan negara-negara semenanjung dan Asia Tenggara umumnya, juga diharapkan menjadi inkubator bagi lahir dan besarnya karya budaya (film) yang menyajikan kekuatan karakter kemelayuan sebagai wacana tanding bagi citra inferioritasnya.
Melayu adalah satu dari kekuatan besar yang membentuk peradaban global. Identitas yang merekatkan Asia Tenggara dan ikut menjaga keamanan dunia. Masih dalam satu nafas tujuan, Kenduri Film Serumpun Melayu juga penting untuk hadir memberikan refleksi kritis dalam konteks perfilman Indonesia secara khusus.
Para insan film yang bukan hanya berkarya, tapi sedia melakukan otokritik akan kekaryaannya dan industri yang terbangun memerankan peran dalam gerak besar pemajuan kebudayaan.
Sepuluh tahun terakhir adalah periode penting yang menandai kembali berjayanya industri film tanah air, sejalan dengan negara yang memajukan kebudayaan sebagai panglima pembangunan manusia Indonesia. Bak gayung bersambut, kekaryaan film yang lahir melampaui batas imaji dan kreasi yang pernah ada. Namun seperti kata pepatah melayu; ‘berat mata menatap, lebih berat pundak memikul’, fungsi film sebagai bagian dari instrumen jalan kebudayaan, tidak berhenti sebagai karya kreatif.
Ia harus melangkah lebih jauh dari batas teritori industri. Ia idealnya hadir sebagai penyokong perubahan. Medium bagi pesan moral yang menyublim dalam rangkai alur cerita, plot dan penokohan. Kehadirannya membawa pesan yang menggerakkan perubahan personal dan sosial yang lebih baik.
Sumatra sebagai satu dari pulau terbesar di Indonesia, sekaligus lokus yang rekat bersitatap dengan semenanjung melayu yang berbagi identitas dan dinamika sosial budaya yang seirama, menjadi pilihan yang tepat untuk menggelar Kenduri ini. Satu diantara permata Sumatra itu adalah Jambi.
Sejarah mencatat Jambi merupakan tempat Keguruan Besar – menimba ilmu keagamaan bagi para Bhiksu dari berbagai wilayah di Asia dengan bukti Candi Muaro Jambi yang saat ini menjadi salah satu situs Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang. Terinspirasi dari sejarah tersebut, tepat kiranya pada edisi perdana ini, Jambi menjadi tuan rumah.
Ketua Forum Film Jambi, Anton Oktavianto mengatakan, Kenduri Film Serumpun Melayu ini digagas oleh Lingkar Film Sumatera (grup jejaring komunitas film yang sudah terjalin sejak 2019), dan komunitas Forum Film Jambi sebagai tuan rumah dengan melihat kemungkinan kerjasama dengan pihak Taman Budaya Provinsi Jambi sebagai pendukung tempat penyelenggaraan.
“Kegiatan ini tidak berpayung pada satu lembaga manapun sebagai usaha melegitimasi acara tersebut, namun atas dasar keinginan untuk melakukan proses dialog terbuka dengan semua pihak dan mengajak semua pihak menjadi stakeholder dari upaya pertemuan besar ini. Kedepan Kenduri Film Serumpun Melayu bisa bergulir tiap tahun,” kata Anton, Rabu (2/8/2023). (SA)
Discussion about this post