Aksara24.id – Krisis pasokan gas subsidi LPG 3 Kg yang berkepanjangan di Desa Koto Kandis Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur menjadi keluhan dan keprihatinan dari warga setempat.
Situasi ini telah berlangsung selama lebih kurang setahun terakhir yang menimbulkan dampak signifikan pada kehidupan sehari-hari. Meskipun desa ini memiliki agen pangkalan yang seharusnya menjadi saluran distribusi utama, namun kuota pasokan yang seringkali tak mencukupi kebutuhan warga.
Firdaus, salah satu warga Desa Koto Kandis Dendang mengatakan, warga setempat merasa kesulitan mendapatkan pasokan gas subsidi yang diperlukan untuk kebutuhan sehari hari.
“Setiap hari Rabu, satu mobil truk membawa pasokan gas subsidi ke pangkalan. Namun, ternyata jumlahnya masih belum mampu memenuhi kebutuhan kami,” ujar Firdaus, Sabtu (05/08/2023).
Ketidakpuasan warga tidak hanya terkait dengan ketersediaan gas subsidi, tetapi juga mengenai harga jualnya. Beberapa warga mengeluhkan bahwa harga penjualan gas subsidi di pasar lokal melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Kisaran harga antara Rp. 20 ribu hingga Rp. 30 ribu per tabung membuat beban ekonomi warga semakin berat.
“Pemilik pangkalan seharusnya memberikan pelayanan yang lebih baik kepada kami sebagai pelanggan. Namun, kami sering mendapati perilaku kasar dan sikap tidak ramah dari mereka. Harga yang tinggi juga membuat kami enggan untuk berbicara, apalagi ketika harga yang ditawarkan melebihi HET,” ungkap Firdaus.
Firdaus juga mengatakan bahwa ada istilah “Gas lemparan”. Gas jenis ini dijual dengan harga jauh lebih tinggi daripada gas subsidi biasa.
“Harga jual gas lemparan ini mencapai lebih dari Rp. 30 ribu hingga Rp. 35 ribu per tabung. Alasan yang mereka berikan karena ‘gas lemparan’,” tutur Firdaus.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Muhammad Awaluddin menegaskan bahwa, pangkalan tidak boleh diperdagangkan oleh pangkalan ke pengecer, dalam distribusi gas tidak ada istilah pengecer kecuali ada kebijakan kades untuk wilayah yang sangat jauh dari pangkalan.
Jika ada kebijakan Kades pun harus tertulis dan biasanya dirapatkan dulu di desa secara transparan termasuk harga jual, karena ada ongkos yg harus diganti untuk jemput gas dipangkalan, harga dipangkalan tetap harus mengacu ke HET yang sudah ditentukan.
“Tidak ada istilah gas lemparan, kalau ada pangkalan yang melakukan itu pelanggaran distribusi namanya. Jika ada pangkalan yang terbukti melanggar HET, kami pastikan akan memberi sanksi sesuai ketentuan yang berlaku, peringatan lisan, tertulis sampai ke rekom pemutusan hubungan kerja. Informasi ini akan segera kita tindak lanjuti,” tegas Awaludin saat dikonfmasi melalui pesan WhatAppnya.
Awaludin juga menghimbau, bagi masyarakat atau pihak lain yang menemukan pelanggaran yang memiliki dokumen dan data bisa membuat pengaduan ke call center Pertamina di 135 dan akan segera ditindaklanjuti. (Afd)
Discussion about this post