Oleh: Musri Nauli
Ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri menjadi Presiden Mei 1998, ada kata-kata didalam pidatonya yang melambangkan sikapnya.
Lengser Keprabon, Mandig Pandito. Demikian kata-kata dan kemudian menjadi mantra dan sikapnya selanjutnya.
Didalam cara pandang masyarakat Jawa, kata-kata “Lengser Keprabon. Mandig Pandito”, dapat diartikan “suatu ungkapan Bahasa jawa yang dapat diartikan dan memiliki makna mendalam”. Dimana seorang Raja yang kemudian telah turun tahta (Lengser keprabon) kemudian “menyepi (bertapa)’ dan kemudian menjadi “orang bijaksana (mandig Pandito).
Secara harfiah dapat diartikan, Sang Raja yang telah turun tahta (Lengser keprabon) kemudian menyepi dan meninggalkan duniawi dan kemudian menjadi “pertapa (pandito).
Sang Raja yang telah “lengser keprabon” diharapkan tidak lagi mengurusi “urusan” duniawi. Dan menyerahkan kerajaan kepada para penerusnya.
Sikap dan teladan sang Raja yang telah “Lengser keprabon” diharapkan menjadi bijaksana.
Biasa juga dikenal “sikap kenegarawan”. Sikap yang menempatkan dia sebagai salah satu “orang” yang bijaksana dan kemudian memilih jauh dari hiruk pikuk duniawi.
Demikianlah esensi dari “Lengser Keprabon. Mandig Pandito”.
Lalu bagaimana melihat keadaan sekarang ini ? Apakah sikap “Lengser Keprabon. Mandig Pandito” juga terjadi di Indonesia.
Tentu saja Masih banyak para Pemimpin yang rela “Lengser Keprabon” kemudian bersedia menjadi “Mandig Pandito”.
Tapi dengan kasat mata kita melihat bagaimana para Pemimpin yang telah “Lengser Keprabon” justru menjadi “cerewet”, masih sibuk “mengevaluasi” penggantinya, sibuk mengkritik, bawel, nyinyir.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, rela “bergabung” membentangkan poster untuk mengkritik penggantinya.
Lebay. Norak. Kata Anak muda sekarang.
Tidak salah kemudian ketika dia mengkritik, sang Anak muda justru bertanya.
“Kemana aja, kek. Ketika kalian berkuasa, engkaupun sama sekali tidak menggunakan kekuasaanmu untuk mewujudkan “apa yang sekarang kalian teriakkan”, kata sang Anak muda sinis.
Ya. Lihatlah. Ketika Sebelum berkuasa, suaranya nyaring. Berdemonstran.
Namun ketika negara kemudian memberikan kesempatan untuk berkuasa, kerjapun tidak becus.
Tidak tanggung. Ada yang Sudah dua kali menjadi Menteri. Kena Pecat.
Ya. Berarti tidak becus.
Ada juga pemimpin Lembaga negara. Ketika “berkuasa”, alergi duduk dengan teman-teman LSM yang mengkritik kinerjanya.
Namun ketika “dia tidak berkuasa”, eh, malah ikut pula membentangkan poster, menggunakan ikat Kepala, berdemonstrasi didepan kantornya.
Bak “seorang mentor” kemudian berceramah dan berorasi kemudian mengevaluasi para penggantinya.
“Malu dengan umur”, kata orang tua dikampung sambil tersenyum.
Padahal, apabila adanya “kekeliruan” dari sang yunior, alangkah “elegannya” kemudian “langsung” menyamperin. Kemudian “mengkritik” sembari memberikan nasehat agar perbaikan dapat dilakukan terus menerus.
Bukankah “mereka” mempunyai “akses” langsung untuk bertemu kepada para penggantinya.
Tidak semestinya ataupun “tidak elegan” kemudian “berteriak-teriak” diluar sembari “paling benar”.
Terlepas dari “kegeraman” orde baru yang dipimpin Presiden Soeharto, namun makna “Lengser Keprabon. Mandig Pandito” dipegang Teguh oleh Soeharto.
Soeharto kemudian “menyepi”. Hilang dari hiruk pikuk suasana politik setelah dia “lengser keprabon”.
Soeharto tenggelam dengan kesunyian.
Tentu saja bukan pujian yang kita sampaikan kepada keteladanan Soeharto.
Namun nilai dan sikap “Lengser Keprabon. Mandig Pandito” dapat menjadikan inspirasi kepada para “senior” yang telah “Lengser Keprabon” agar dapat menjadi “bijaksana (pandito) dan menjadi negarawan sesungguhnya.
Tradisi ini Sudah lama dipraktekkan di Amerika. Para Mantan Presiden Amerika yang Masih hidup “sering berkumpul” untuk membicarakan politik dengan Presiden yang Masih berkuasa.
Mereka sering berkumpul di “Camp David”. Jauh dari publikasi media massa.
Bahkan tidak tanggung-tanggung. Didalam berbagai kisah-kisah yang sering disaksikan di Film Hollywood, Para Presiden Amerika “mempunyai buku diary”. Yang diwariskan terus menerus kepada presiden selanjutnya.
Sehingga Presiden selanjutnya dapat memahami “suasana Politik”, “sikap politik” yang diambil”, termasuk Kebijakan kontroversial di masa-masa tertentu.
Diari ini terus diwariskan dan menjadi “rahasia” tersendiri para Presiden Amerika Serikat.
Namun secara nilai, Indonesia sudah mempunyai cara pandang dan sikap yang harus diambil para Pemimpin setelah tidak berkuasa lagi (lengser keprabon). Harus menjadi “pandito”. Harus menjadi negarawan. Menjadi “suluh” dan solusi dari berbagai pihak untuk menjernihkan persoalan.
Namun didalam praktek masih ditemukan para “Senior” Masih enggan untuk “mandig Pandito”.
Mungkin benar juga apa yang sering disampaikan para Psikolog. Yang sering menyebutkan sebagai “gejala” the Power Syndrome”.
Sehingga para “senior” yang Masih sibuk “mengurusi” urusan Yuniornya, sudah dihinggapi “the Power Syndrome”.
Namun yang menyedihkan, The Power Syndrome” Sudah akut. Dan Sudah saatnya juga harus “diperlakukan” tindakkan medis untuk menghilangkan gejala “The Power Syndrome”.
Penulis adalah Advokat tinggal di Jambi
Discussion about this post