Oleh : Musri Nauli
Didalam kisah keteladanan, ketika hendak melakukan perjalanan jauh, maka harus ditunjuk diantara mereka yang kemudian dijadikan pemimpin. Biasa juga disebutkan sebagai Kepala rombongan.
Kepala rombongan selain memastikan pengecekkan alat yang didalam perjalanan, memastikan fisik dan mental anggota rombongan juga memastikan jalur dan perjalanan yang ditempuh. Dan tentu saja memastikan seluruh kebutuhan selama di perjalanan.
Begitu pentingnya Kepala rombongan, maka setiap apapun “perintah” ataupun “arahan” dari Kepala Rombongan, maka seluruh rombongan harus mematuhinya. Termasuk juga mampu dan mendengarkan arahan agar perjalanan menjadi lancar dan tiada hambatan. Sehingga tidak salah kemudian dikenal sebagai memilih kepala rombongan.
Begitu juga memilih “imam” sholat ketika 2-3 orang atau lebih ketika hendak melaksanakan sholat berjamaah. Pemilihan imam semata-mata didasarkan kepada “perilaku” yang pantas, ucapannya “Faseh”, rukun dan aturan Sholat dikuasai. Termasuk juga mengucapkan setiap lafal diucapkan dengan baik, tertib pembacaan (Tajwid) dan enak didengar.
Kisah yang sama juga ketika mendaki gunung. Sebelum dilakukan perjalanan panjang, sembari melihat diantara yang mengikuti pendakian, maka biasanya kemudian ditunjuk diantaranya yang dianggap mempunyai kemampuan dasar didalam pendakian, rajin, ngemong, bersikap sabaran menghadapi anggota rombongan. Dan tentu saja yang fisiknya kuat. Termasuk bertanggungjawab “memikul” logistik, mengangkut yang sempat tercecer apabila Tertinggal didalam perjalanan.
Begitu banyak proses yang sudah lama dipraktekkan ditengah masyarakat, maka tidak salah ketika memilih pemimpin tidak dapat dihindarkan dilihat dari “keturunan” (bibit), bebet (perilaku sehari-hari) dan termasuk dengan siapa saja dia bergaul sehari-hari dan tentu saja bobot. Prestasi dan cara didalam melaksanakan kehidupan sehari-hari.
Baik didalam perjalanan, memilih imam sholat dan ketika mendaki gunung adalah sekedar contoh didalam memilih pemimpin mengalami “screnning” yang ketat. Begitu banyak mekanisme, metode, cara bahkan proses untuk memilih Pemimpin. Sehingga tidak salah setiap orang yang mengalami proses pemilihan, orang yang mengikuti proses menjadi Pemimpin Sudah jamak dan sering dipraktekkan sehari-hari.
Didalam praktek sehari-hari, istilah bibit sering ditandai dengan “tuah”. Maka seseorang Pemimpin tidak dapat dihindarkan dari keturunan (tuah) dari Keluarga besar yang berasal dari Keluarga besar.
Tidak dapat dihindarkan, keluarga besar yang memang dididik menjadi Pemimpin memang dilahirkan dari Keluarga besar yang menghasilkan Pemimpin.
Didalam Keluarga besar maka cara bersikap, cara bertutur, cara memandang persoalan kemudian dididik, dibesarkan dan kemudian dihasilkan.
Berbagai ujaran bijaksana (seloko), cara menyelesaikan, cara bertanggungjawab, mengambil alih tanggung jawa kesalahan anggotanya kemudian ditelurkan.
Sehingga “Tuah’ menjadi “alat ukur” dan sreenning yang dimulai ketika memilih pemimpin.
Sedangkan bebet kemudian disandingkan dengan siapa saja sehari-hari seorang pemimpin bergaul.
Pabila bergaul dengan “touke karet” maka akan adanya “bau karet”. Sedangkan “penjual minyak harus” akan menyebabkan “wangi”.
Tidak salah kemudian bebet sering juga dipadankan dengan 7 macam Pemimpin yang tidak disukai. Seperti Pimpinan Di Ujung Tanjung, Pimpinan Ayam Gedang, Pimpinan Buluh Bambu, Pimpinan Ketuk-Ketuk, Pimpinan Busuk Aring, Pimpinan Pisak Celano dan Pimpinan Tupai Tuo.
Menurut masyarakat Melayu Jambi, istilah Pimpinan Di Ujung Tanjung adalah pimpinan yang suka mengambil muka, berdusta dan berdiri di atas penderitaan teman, dan suka mengaku sebagai pahlawan. Pimpinan Ayam Gedang adalah pimpinan yang suka menonjolkan tuahnya atau kemampuannya, padahal tak ubahnya seperti ayam berkotek saja tak pernah bertelur. Ia adalah pimpinan elok bungkus pengikat kurang.
Pimpinan Buluh Bambu adalah pimpinan yang mengutamakan penampilan luar, kosong di dalam, namun hilir mudik membanggakan dirinya sebagai seorang pimpinan. Pimpinan Ketuk-Ketuk adalah pimpinan yang tidak memiliki keberanian membela masyarakat; ia akan berbuat bilamana di desak.
Pimpinan Busuk Aring adalah pimpinan berhati licik, curang, serakah, melilit orang, korup, kadangkala mau menjual keluarga dan sahabatnya. Pimpinan Pisak Celano adalah pimpinan yang suka kawin cerai, bila melihat wanita cantik maka hatinya tergiur untuk mengawininya kemudian ia ceraikan. Dan Pimpinan Tupai Tuo adalah pimpinan berhati minder atau rendah diri, dan tidak berani tampil ke gelanggang.
Sehingga dilihat proses pemilihan pemimpin ditengah masyarakat mengalami proses panjang. Baik dengan melihat “Tuah” (latarbelakang atau bibit), melihat dengan siapa dia bergaul sehari-hari dan tentu saja “apa yang telah diperbuatkan ditengah masyarakat”.
Kehati-hatian masyarakat Melayu Jambi didalam memilih Pemimpin semata-mata didasarkan apabila Pemimpin yang kemudian dipilih akan menimbulkan laknat (sumpah/kutukan) sebagaimana sering disebutkan didalam Sumpah Datuk Paduko Berhalo “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang”.
Dengan memilih Pemimpin yang tepat akan memberikan kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ditengah-tengah masyarakat Melayu Jambi sebagaimana sering disebutkan didalam Seloko “Padi menjadi, aeknyo tenang, ikannyo jinak, Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”. Atau biasa juga disebutkan didalam Ujaran masyarakat Jawa “Gemah ripah. Loh Jinawi. Tata tentram. Kerto Raharjo”.
Penulis adalah Advokat tinggal di Jambi
Discussion about this post