Oleh : Bonita Tessa Islamy
Pelaksanaan pajak karbon terus di undur sampai dengan tahun 2025 mendatang. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia menjelaskan bahwa penerapan pajak karbon di Indonesia adalah suatu proses yang rumit, terutama mengingat minimnya kesadaran dari sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap isu ini. Meskipun demikian, pemerintah dan berbagai otoritas terkait terus melakukan pembenahan serta mempersiapkan regulasi yang tepat terkait pajak karbon.
Langkah ini diambil agar ketika penerapan pajak karbon dimulai, masyarakat dapat lebih mudah memahami pentingnya kewajiban pajak karbon bagi perusahaan yang bertanggung jawab atas emisi karbon yang dihasilkan. Meski demikian, langkah-langkah untuk mewujudkan hal ini terlihat masih berjalan lambat.
Konsep Pajak Karbon
Pajak karbon sendiri adalah untuk menginternalisasi biaya emisi karbon ke dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Dengan kata lain, pajak karbon menjadi landasan dalam pengenaan dan penetapan biaya bagi setiap perusahaan maupun individu yang menghasilkan emisi, sehingga terdapat insentif finansial nantinya.
Prinsip dasarnya adalah semakin tinggi emisi karbon yang dihasilkan, maka semakin tinggi pajak yang harus dibayarkan. Sayangnya, hal sederhana seperti itu masih menjadi “PR” pemerintah hingga hari ini. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Indonesia yang belum melihat nilai manfaat dari pajak karbon itu sendiri.
Berdasarkan studi International Institute for Sustainable Development (IIDS), pajak karbon memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan negara yang mana keuntungan tersebut dapat digunakan pula untuk memperluas dan meningkatkan pelayanan bagi masyarakat, terlebih untuk keperluan aksesibilitas energi.
Melalui penerapan, pajak karbon secara tidak langsung juga mampu mendorong kesejahteraan masyarakat luas, mulai dari menciptakan lapangan pekerjaan, peningkatan ketahanan pangan, hingga membantu kehidupan masyarakat yang terdampak langsung dari efek emisi karbon. Manfaat pajak karbon pada akhirnya perlu dipahami secara mendalam oleh masyarakat, tidak hanya sebagai sebuah kebijakan yang “menuntut”, namun juga sebagai alasan untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
Salah satu bukti keberhasilan penerapan pajak karbon adalah yang diterapkan oleh Swedia sebagai negara dengan tarif pajak karbon tertinggi di dunia. Swedia mulai menerapkan pajak karbon sejak 1991 dengan tarif US$ 26 per ton CO₂ ekuivalen, atau setara dengan Rp390.000 per ton CO2.
Penerapan pajak karbon yang dilakukan oleh pemerintah Swedia ditujukan untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang memang memprihatinkan. Pemasukan pajak karbon dialokasikan sebagai penerimaan pemerintah pusat.
Terobosan Kebijakan
Karbon merupakan salah satu kebijakan fiskal yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan emisi gas rumah kaca dengan cara menetapkan biaya ekonomi terhadap setiap ton karbon yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Kebijakan pajak karbon tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada Pasal 13 yang menegaskan mengenai pungutan yang dikenakan dengan tujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.
Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan tercatat bahwa rencana tarif pajak karbon di Indonesia adalah Rp 30 per kilogram CO2e, itu artinya indonesia masuk ke dalam negara dengan tarif pajak karbon terendah di dunia. Terdapat dua mekanisme yang digunakan di Indonesia yaitu cap and tax atau mendasarkan pada batas emisi yang diperbolehkan untuk setiap industri atau dengan menentukan tarif pajak yang harus dibayarkan setiap satuan tertentu.
Pengenaan pajak karbon ditujukan sebagai upaya untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Hal tersebut menjadi semakin penting mengingat Indonesia memiliki tingkat polusi udara tertinggi di dunia, memunculkan kekhawatiran akan dampak kesehatan masyarakat bahkan lingkungan sekaligus.
Data menurut World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa per bulan Agustus kualitas udara di Indonesia berkisar 32,9 mikrogram per meter kubik dan hanya sekitar 0,6 persen dari 64,9 juta warga perkotaan Indonesia yang menikmati udara bersih, dalam arti lain semakin hari semakin sedikit warga Indonesia yang menikmati udara bersih sesuai dengan standar WHO, yakni sebesar 15 mikrogram per meter kubik. Dalam kondisi ini, pajak karbon dinilai mampu menjadi kunci perwujudan udara bersih dan masa depan yang lebih hijau.
Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Discussion about this post