Oleh : Musri Nauli
Akhir-akhir ini, dunia politik dihebohkan pengangkatan Kaesang Pangareb (Kaesang), Putra Bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Jagat politik kontemporer dihebohkan selain sang Putra Bungsu yang selalu menarik perhatian publik juga pengangkatan sebagai Ketua Umum sebuah Partai politik. Hanya berselang beberapa hari menjadi anggota kemudian langsung menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia.
Sebagian kemudian mencibir apakah bisa terhadap orang yang baru menjadi kader kemudian dapat menjadi Ketua Umum DPP Partai ?
Sebelum menentukan apakah dapat atau tidak maka tidak salah kemudian dilihat didalam Anggaran Dasar Partai.
Didalam Anggaran PSI, disebutkan Dewan Pembina sebagai pemegang otoritas tertinggi Partai. Dengan demikian maka Dewan Pembina adalah pengambil keputusan tertinggi Partai Solidaritas Indonesia.
Sedangkan masa jabatan Dewan Pimpinan Pusat Partai dipilih dan ditetapkan untuk masa jabatan lima tahun. Namun tetap Pengambil keputusan tertinggi partai adalah Dewan Pembina.
Dengan demikian maka berbeda dengan partai-partai lain, terhadap Dewan Pimpinan Pusat Partai dipegang oleh Dewan Pembina Partai. Dewan Partailah yang “pemilik kedaulatan” dan memilih kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai.
Cara ini mungkin mirip dengan sistem pemilihan suatu organisasi yang biasa dikenal seperti Dewan Syuro. Yang cukup hanya dipilih Dewan Syuro, maka sang Ketum kemudian menjadi pimpinan Organisasi.
Sehingga dipastikan, mekanisme ini tidak menimbulkan persoalan dilihat dari tata Organisasi.
Apakah cara ini menjadi tidak lazim ditengah heboh pemilihan Ketum Partai yang menyita perhatian publik ? Ah, biarlah itu menjadi agenda politik partai-partai yang lain.
Pemilihan Kaesang sebagai Ketum DPP PSI tentu saja mempunyai kalkulasi politik. Pertimbangan politik PSI tentu saja bagian dari strategi pemenangan Partai menghadapi Pemilu 2024. Apakah kalkulasi politik PSI akan berhasil atau tidak ? Maka momentum bagaimana Kaesang bisa melewati Ujian pertamanya di Pilpres dan Pileg 2024.
Lalu bagaimana dengan istilah Dinasti Politik yang akhir-akhir ini sering dibicarakan publik.
Sebagai bagian dari proses demokrasi, Dinasti Politik memang kemudian banyak sekali menimbulkan permasalahan. Entah beberapa pejabat daerah bagian dari Dinasti politik kemudian terjebak dalam skandal Korupsi. KPK Sudah lama memantau dari proses Dinasti yang kemudian menghabiskan anggaran negara.
Namun yang unik dari Jokowi, Jokowi tidak “cawe-cawe” mengangkat keluarganya didalam struktur Pemerintahan. Gibran dan Bobby dibiarkan “bertarung” di daerah. Dan ketika kemudian menjadi Walikota, apakah kemudian kita merendahkan logika berfikir masyarakat yang berhasil memenangkannya.
Apakah masyarakat Medan yang telah memilih Bobby menjadi Walikota kemudian disebutkan sebagai masyarakat yang “terbelakang cara berfikirnya”. Waduh. Kemenangan Bobby (walaupun tipis) justru mengalahkan nama-nama besar yang telah Malang melintang berpolitik di medan.
Bandingkan dengan Gibran di Solo yang menang telak. Apakah pilihan masyarakat Solo tidak salah. Ah. Lihat saja angka-angka BPS dibawah pemerintahan Gibran.
Kembali ke Kaesang, ketika ditanyakan apakah majunya Kaesang menampakkan dinasti Politik ? Dengan santai Kaesang menjawab, “Saya sudah minta izin dengan istri saya. Kan Keluarga saya istri saya”.
Sayapun ngakak mendengar jawaban sekenanya.
Secara Sederhana jawaban Kaesang justru membuktikan cara pandang Jawa yang didalam sistem kekerabatan dikenal sebagai “parental”. Sehingga makna “Keluarga” yang hanya tertera diddalam daftar KK (Kartu Keluarga).
Sehingga bagi Kaesang, Keluarga adalah “dirinya dan keluarganya”. Bahkan dengan enteng pula dia menjawab, “saya sudah punya kartu Keluarga sendiri. Sehingga cukup dengan izin dari istrinya, bagi dia sudah cukup”.
Sehingga tuduhan Dinasti (Keluarga) yang bagian dari Keluarga maksudnya Presiden Jokowi kemudian terbantahkan.
Tentu saja ungkapan Kaesang masih menyisakan tanya. Namun logika Sederhana Kaesang adalah gambaran dan cerminan Generasi Z.
Menggunakan ungkapan Sederhana, lugas sekaligus logis adalah ciri khas dan karakter Generasi Z didalam melihat sebuah peristiwa.
Tentu saja banyak sekali orang yang gagap menerima alasan ataupun argumentasi dari Generasi Z. Namun ditengah “kegenitan” berpolitik, ranah politik masa depan sudah saatnya dikuasai Generasi Z.
KPU sendiri sudah menyebutkan 204 juta pemilih. Dan 100 juta adalah Generasi Z. Biasa juga disebutkan sebagai bonus demografi.
Kekuatan generasi Z tidak boleh dianggap remeh. Kekuatan mereka mampu meluluhlantakkan perusahaan global yang Sudah menguasai bisnis puluhan tahun.
Lihatlah Raja Ponsel “Nokia” ataupun Blue bird (di Indonesia). Mampu ditumbangkan generasi Z.
Dikisah yang lain, lihatlah Seorang Pemuda India, Ritesh Argawal pemuda dari Negeri Bollywood, merintis OYO Hotel dari Nol mampu menjadi milyader termuda didunia. Hingga diusia 22 tahun, Ritesh memiliki 500 jaringan hotel. Sampai pada usianya 26 tahun, Ritesh sukses memiliki 43.000 jaringan hotel di seluruh dunia.
Hingga menjadikan OYO Hotel sebagai jaringan hotel diurutan kedua terbesar di dunia. Dari usahanya ini, Ritest mampu mengumpulkan uang sebesar 1 Milyar Dolar atau setara 14 Trilyun Rupiah (kurs Rp.14.000) pada usia 24 tahun dan saat ini sudah mempekerjakan 350.000 orang.
Begitu juga Nabiel Makarim (Go-jek) yang sekarang menjadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dengan hanya aplikasi Go-jek mampu meluluh-lantakkan Blue bird yang telah “membirukan” Jakarta Puluhan tahun.
Sayapun melihat Kaesang memimpin PSI seperti mengurusi organisasi start up. Dan dia memimpin dengan gaya khas Anak muda. Guyonan yang ajek. Persis kayak Mengelola Podcasting yang dihadiri para stand up komedi.
Tentu saja Anak muda Indonesia sekarang bosan mendengarkan pidato berapi-api. Bosan mendengarkan ceramah tentang masa lalu yang membanggakan diri sendiri.
Di tangan anak muda, mereka lebih suka bekerja solutif daripada hanya membicarakan problema. Mereka fokus didalam upaya bekerja kongkrit dan tidak mau berlama-lama di wacana.
Dan tentu saja sejarah mengajarkan. Sekali saja meremehkan anak-anak muda Indonesia, maka kemudian terlindas oleh putaran sejarah.
1908, 1928, 1945, 1966 dan 1998 adalah bagian dari sejarah yang dikuasai oleh anak-anak muda Indonesia. Dan roda sedang berputar.
Mereka yang asyik dengan dunia mereka sendiri maka nasib mereka seperti Nokia. Meminjam kata-kata Stepen Elop, CEO Nokia terakhir ““Kami tidak melakukan kesalahan apap-apa. Tapi bagaimana kami bisa kalah”.
Mereka memang tidak membuat kesalahan. Tapi mereka keliru dan asyik dan terlalu nyaman menyandang Raja Ponsel.
Pelajaran penting dari peristiwa apapun “Jika anda tidak berubah sering perkembangan waktu, anda akan keluar dari kompetisi”.
Penulis adalah Advokat tinggal di Jambi
Discussion about this post