Oleh: Musri Nauli
Ketika Isral kemudian membombardir kawasan Gaza, tiba-tiba dunia kemudian memberikan dukungan kepada Palestina. Dukungan Palestina kemudian menggema dan mengutuk Isral.
Di Indonesia sendiri, dukungan kepada Palestina terus dikumandangkan. Termasuk aksi-aksi besar yang kemudian semakin menggumpal.
Israel kemudian ditempatkan menjadi “musuh bersama (common enemy)”.
Tiba-tiba saya teringat awal tahun yang lalu. Ketika gegap gempita Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 yang rencananya digelar tanggal 20 Mei-11 Juni 2023. Stadion yang disiapkan seperti Stadion Jakabaring (Palembang), Stadion Utama Gelora Bung Karno (Jakarta), Stadion Si Jalak Harupat (Bandung), Stadion Manahan (Solo), Stadion Gelora Bung Tomo (Surabaya) dan Stadion Kapten I Wayan Dipta (Gianyar, Bali).
Ganjar Pranowo (Ganjar) sebagai Gubernur Jawa Tengah menolak kedatangan Israel. Ganjar menyuarakan penolakannya terhadap timnas Israel. Ganjar menyebut penolakan itu wujud dari upaya bersama untuk mendukung kemerdekaan Palestina sesuai amanat Presiden RI pertama Soekarno. Gubernur Bali juga menolak kedatangan Israel.
Indonesia kemudian batal jadi tuan rumah Piala Dunia U-20. FIFA sudah resmi mengumumkan keputusan itu. Netizenpun banyak yang geram. Dan menumpahkan kemarahan dan sasaran kekecewaan Ganjar.
Ganjar Pranowo kemudian “seakan-akan” sendirian. Berhadapan dengan masyarakat Indonesia yang bermimpi Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Hampir pasti sama sekali tidak ada dukungan kepada Ganjar. Ganjar sendirian. Dan menjadi musuh Bersama (common enemy) masyarakat pecinta bola. Selain tentu saja PDIP yang tegas menyatakan penolakkannya.
Tidak tanggung-tanggung, LSI kemudian menyebutkan Elektabilitas semula 35% (Februari) kemudian melorot jauh menjadi 26,9% (April).
Padahal yang disampaikan Ganjar bukanlah istimewa. Berbagai regulasi memang mengamatkan Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Peraturan Menteri Luar Negeri No 3 Tahun 2019 (Permenlu No3/2019) malah tegas menyatakan “ Sampai saat ini Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, dan menentang penjajahan Israel atas wilayah dan bangsa Palestina, karenanya Indonesia menolak segala bentuk hubungan resmi dengan Israel. Sehingga tidak ada hubungan secara resmi antara Pemerintah Indonesia dalam setiap tingkatan dengan Israel, termasuk dalam surat menyurat dengan menggunakan kop resmi.
Selain itu juga tidak menerima delegasi Israel secara resmi dan di tempat resmi, tidak diizinkan pengibaran/penggunaan bendera, lambang dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan Israel di wilayah Republik Indonesia.
Namun menjadi istimewa justru sikap tegas Ganjar. Ganjar “pasang badan” untuk menegaskan posisinya. Ganjar berdiri tegak mengamankan putusan konstitusi. Ganjar sama sekali tidak hirau dengan pencalonannya.
Ganjar lebih mengutamakan amanat konstitusi dibandingkan sikap populer untuk menyenangkan semua orang. Ganjar menempatkan diri sebagai negarawan. Ganjar sama sekali tidak memikirkan electoral. Tapi sikap dan ketegasan dan garis yang telah ditentukan UUD 1945.
Dari sinilah “ujian terbesar” Ganjar. Istana, Kemenpora, PSSI, masyarakat pencinta sepak bola kemudian “menghunuskan belatinya” untuk menikam Ganjar.
Ganjar dianggap “mbalelo” terhadap Istana, Kemenpora, PSSI. Ganjar bahkan dianggap “menyerobot” agenda penting dan hajatan nasional.
Bahkan Kemenlu yang berkepentingan langsung untuk mengamankan Permenlu No 3/2019 nyaris tidak bersuara. Bahkan terkesan sama sekali tidak memberikan dukungan kepada Ganjar. Sama sekali tidak mau berhadapan langsung dengan publik pecinta sepakbola.
Apakah Ganjar “mundur” untuk menghadapi tantangannya ?
Sebagai Gubernur sekaligus sebagai Pemimpin, sikap Ganjar tegas. Sama sekali berdiri tegak dan tidak mundur sejengkalpun.
Kini, 7 bulan kemudian, Perang Israel dan Palestina meledak. Dunia menyaksikan kekejaman Israel yang mencaplok wilayah Palestina.
Kekejaman Israel di Palestina kemudian membuka mata. Ganjar kemudian diingatkan sebagai negarawan yang Kukuh berdiri dibawa konstitusi.
Mengutip pepatah Bugis “pelaut ulung tidak lahir dari laut yang tenang”. Ujian Ganjar sesungguhnya telah dilewati.
Hujatan, makian yang semula ditikamkan kepada Ganjar telah berlalu. Lagi-lagi meminjam pepatah Bugis “Dek nalabu essoe ri tenngana bitarae (tak akan tenggelam matahari di tengah langit.
Sinar harapan senantiasa disampaikan kepada Pemimpin yang rela “Pasang badan” dan tidak menghiraukan dirinya sendiri untuk tunduk kepada konstitusi.
Terima kasih, Pak Ganjar. Dari sikapmulah kami kemudian Belajar. Menjadi Pemimpin harus bersikap tegas dan sama sekali tidak tunduk terhadap kepentingan apapun selain mengabdi kepada konstitusi.
Penulis adalah Advokat tinggal di Jambi
Discussion about this post