Aksara24.id – Kasus pernikahan sejenis di Kota Jambi menjadi perhatian masyarakat terus bergulir hingga sampai ke meja hijau
Korban diketahui inisial NA (28 tahun) warga Kelurahan Kenali Bawah, Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi, terkejut terhadap suami ternyata seorang perempuan dan tidak hanya itu, pelaku juga menguras uang pihak keluarga korban hampir 300 juta.
Terkait kasus nikah sejenis tersebut, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) langsung angkat bicara agar penegak hukum memberikan ketegasan hukum yang lebih berat kepada pelaku karena sudah mencedrai sosial dan agama.
“Melihat kasus pernikahan sesama jenis di Kota Jambi hingga sampai viral se Indonesia, tidak bisa dibenarkan apalagi dengan kondisi kita di indonesia dan Jambi mayoritas beragama Islam,” ujar Pitriya, Ketum kohati BADKO HMI Jambi.
Pitriya menyebutkan, sebagai perempuan yang juga berfokus pada perempuan dan anak melihat pernikahan sesama jenis sudah Jelas-jelas didalam Islam melarang menikah sesama jenis dan apalagi pernikahan sesama jenis tersebut tidak hanya menjadi pelajaran berat bagi korban dan pelaku namun bagi masyarakat terkhususnya di provinsi Jambi.
“Melihat keterangan dari pihak korban bahwa pernikahan ini sudah berusia 10 bulan dan baru diketahui bahwa suaminya adalah seorang perempuan, kemudian tidak diketahui identitasnya, pemalsuan gelar serta penistaan agama,” jelasnya jumat, (17/6/22).
Dari kasus pemalsuan identitas dari jenis kelamin seharusnya pelaku dihukum atas pasal penipuan dan bisa dihukum berat atas kasus tersebut, kemudian melihat dari pemalsuan gelar juga menjadi kasus yang bisa di tuntut dalam persidangan di Kejari sehingga menjadikan efek jera bagi pelaku, lalu penistaan agama.
“Pelaku seolah menjadi imam guna meyakinkan keluarga korban dan ini menjadi suatu kasus dengan 3 tuntutan sekaligus,” tegasnya.
Pitria menyebutkan, Pemalsusan identitas, gelar dan penistaan agama. pelimpahan kewenangan ke kejari atas laporan tersebut juga seharusnya menjadi perhatian khusus lembaga terkait, guna mengusut tuntas kasus dan beberapa tuntutan yang mestinya di selesaikan secara detail. baik dari tuntutan dan hukuman yang berlaku bagi pelaku.
“Persoalan dalam kasus ini tidak hanya merugikan dalam segi kehidupan korban dan keluarga korban namun juga privasi korban dan sikis korban,” tuturnya.
Selain itu, persoalan juga harus didampingi oleh lembaga terkait untuk mendampingi secara sikis dan mental maupun penegakan hukum berat terhadap pelaku supaya pelaku efek jera.
“Pendampingan terhadap penggunaan sosial media dan lebih pintar bersosial media,” imbuhnya.
Pitria mengatakan, dalam undang-undang penipuan 387 KUHP pelaku hanya di hukum paling lama 4 tahun, namun melihat kasus tersebut seharusnya pelaku bisa dihukum lebih dari 4 tahun.
“Keluarga korban dan pendamping dari lembaga terkait dan juga mesti detail dalam melihat kasus yang terjadi dalam persoalan karena tidak hanya penipuan identitas baik jenis kelamin dan gelar namun terang terangan melakukan penistaan agama, seolah- olah menjadi imam untuk meyakinkan keluarga korban,”katanya.
Dalam pemalsuan gelar pelaku bisandijerat 5 tahun penjara atau denda 500 juta rupiah, dan untuk penistaan agama Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 64 ayat 1 KUHP 10 tahun penjara dan denda bagi pelaku.
“Maka dari itu melihat dari kasus ini saya meminta lembaga terkait yang menangani ini bisa lebih tegas dan cerdas dalam kasus yang memalukan ini,” tandasnya.(GA)
Discussion about this post