Oleh : Musri Nauli
Setelah menikmati “rasa di Langit” di Danau Toba dan Pulau Samosir, perjalanan kemudian dilanjutkan.
Berbeda dengan rute kedatangan ke Danau Toba di Parapat yang datang dari Jambi melalui Pekanbaru yang dikenal sebagai “lintas timur”, maka turun dari Parapat kemudian menyusuri Lintas Sumatera. Biasa juga dikenal dengan Lintas Tengah.
Sekedar gambaran. Wilayah Pulau Sumatera dikenal tiga irisan. Pertama adalah “pantai Barat Sumatera”. Daerah ini langsung ke Samudra Hindia yang terkenal dengan kedalaman palungnya.
Pantai Barat sumatera juga dikenal sebagai “jalur sesar gempa” yang rutin “menyelenggarakan” hajatan 2 tahun sekali.
Provinsi yang dilewati seperti Lampung, Bengkulu, Sumbar, Sumut dan Aceh.
Irisan wilayah ini dikenal didalam cerita pelaut dunia yang salah satunya kemudian dikenal jalur yang berpuncak di Barus.
Salah satu tempat yang konon kabarnya adalah “kedatangan Islam” pada abad 6 ataupun masa sesudah (bahkan ada yang memperkirakan) masa Muhammad.
Jejaknya Masih kelihatan hingga jalur Lada yang klasik dituliskan didalam berbagai jalur perdagangan.
Jalur ini adalah jalur terakhir yang ditempuh. Setelah dari Bukit Tinggi. Cerita ini akan dituliskan pada edisi selanjutnya.
Ditengah Pulau Sumatera dikenal Bukit Barisan. Langsung beririsan Seluruh Provinsi yang ada di Sumatera.
Bukit Barisan adalah Bukit yang memanjang dari Aceh hingga Lampung. Yang mempersatukan Pulau Sumatera.
Jangan tanya potensi yang ada di Bukit Barisan. “Nguning-nguning” kata orang Jambi dengan dialek Melayu Kuno.
Nah, jalur yang memanjang yang menghubungkan dan sebagai akses ekonomi Sumatera Tengah yang kemudian dikenal sebagai jalur Lintas Sumatera. Menghubungkan mulai dari Parapat, Porsea, Padang Sidempuan, Pasaman, Bonjol, Bukit tinggi, Solok hingga Lubuk Linggau.
Nah. Jalur ini yang ditempuh setelah dari Parapat (Danau Toba).
Di sebelah kanan Pulau Sumatera dikenal sebagai “Lintas Timur”. Provinsi yang dilewati seperti Lampung, Sumsel (baca Palembang), Jambi, Riau (Baca Pekanbaru).
Rute yang semula dijalani dari Jambi – Pekanbaru – Rantau parapat, Aek Kanopan.
Kembali ke cerita setelah dari Parapat ke Bukit tinggi. Jalur Tengah Sumatera yang dikenal Jalan Lintas Sumatera.
Pemandangannya, woow. Bukit memanjang dengan tipologi alamnya yang membuat “malas bergerak” dari menikmati alam.
Setelah dari pagi Parapat, seharian menjelang sore baru melewati Penyabungan. Menjelang magrib malah masih di perbatasan Sumut – Sumbar.
Kamipun terjebak di antrean “takbiran” yang diadakan setiap Desa. Pelan-pelan menyusuri, sesekali Masih mengikuti antrian takbiran. Kamipun terdampar di Muara Sipongi.
Setelah istirahat sebentar, perjalanan pelan-pelan menyusuri Lubuk Sikaping. Akhirnya menjelang subuh hari, barulah tiba dan istirahat panjang di Bukit Tinggi. Tokoh bangsa seperti Muhammad Hatta, Syahrif, Muhammad Nasir dan Tan Malaka adalah tokoh yang dibesarkan di Bukit Tinggi.
Membicarakan Bukit Tinggi tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang Bukit Tinggi itu sendiri sekaligus sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Tokoh bangsa seperti Muhammad Hatta, Syahrif, Muhammad Nasir dan Tan Malaka adalah tokoh yang dibesarkan di Bukit Tinggi.
Bukittinggi yang berdekatan dengan Painan justru menghasilkan Sekolah yang menjadi legenda dan Masih bertahan hingga sekarang.
Pesantren Dinniyah Putri yang kesohor menjadi magnet penduduk sumatera untuk menyekolahkan anaknya.
Atau Pesantren Thawalib Putra yang berdekatan dengan Pesantren Dinniyah Putri didirikan oleh Dr. Malik Karim Amrullah. Ayah dari Buya Hamka yang kesohor.
Generasi Emas yang memproduksi intektual dari Sumatera Barat yang menyumbangkan pemikiran terhadap lahirnya Bangsa Indonesia membuat masyarakat mengaguminya.
Selain itu, Bukittingi juga menjadi pusat ekonomi yang mempengaruhi perdagangan di Riau maupun di Jambi. Sebagai magnet, Bukittinggi menjadi pusat perputaran ekonomi yang Masih bertahan hingga sekarang.
Selain pusat grosir terbesar, Bukittingi juga pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia..
Menurut data berbagai sumber, Melalui Wakil Presiden Muhammad Hatta (9 Agustus 1947). Dengan demikian maka Seluruh perkantora seperti Jawatan Kepolisian Negara, Percetakan Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera, Markas TNI Divis IX/Banteng serta Seluruh tentara kemudian dipusatkan di Bukittingi.
Praktis selama tujuh bulan, Pemerintah Darurat mampu menjalankan tugas-tugas kenegaraan.
Setelah Pemerintahan Pusat kemudian pulih, maka mandat sebagai Pemerintah Darurat dikembalikan ke Jakarta.
Turun dari Bukittinggi tentu saja tidak dapat dilepaskan berbagai panganan yang berjejer dari Bukittinggi ke Padang Panjang.
Kue Serabu yang ikonik menjadi perekam memori perjalanan sepanjang perjalanan.
Dari Padang Panjang, bisa lurus ke Solok hingga menyusuri Lintas Sumatera, namun kami memilih berbelok ke Padang. Rencana mau “nyekar” dulu di Padang dan Painan (Pesisir Selatan).
Nah, Rute dari Padang, Painan, Tapan, Muko-muko, Bengkulu, Bengkulu Selatan, Kaur hingga Liwa (Provinsi Lampung) dikenal sebagai Lintas Barat Sumatera. Jalur yang juga dikenal sebagai jalur perdagangan sebelum abad 12-an.
Namun untuk mempercepat jalan ke Jambi, maka dari Padang ke Painan (karena harus juga nyekar) ke Tapan, namun kami berbelok ke kiri. Ke Arah Sungai Penuh.
Cukup jauh dan menghemat waktu dari Padang-Painan melewati Tapan melalui Sungai penuh dibandingkan dengan dari Painan kembali ke Padang – Solok menyusuri Lintas Sumatera (Lintas Tengah).
Setelah tiba di Sungai Penuh, kami berkeinginan dekat dengan Gunung Tujuh di Pelompok. Sekaligus “istirahat” di Home Stay untuk Rawa Bento.
Apabila dibandingkan perjalanan mudik kali ini cukup unik. Apabila awal tahun, dimulai dari Jambi (lintas Timur Sumatera) kemudian ke Lubuk Linggau (Lintas Sumatera/Lintas Tengah Sumatera) kemudian ke Bengkulu, Seluma, Kaur, Liwa (Lintas Barat) namun malah kemudian dari Liwa ke Lampung – Palembang – Jambi yang dikenal sebagai lintas timur Sumatera.
Berkebalikan dengan perjalanan mudik kali ini. Justru dari Jambi – Pekanbaru – Aek Kanopan – Parapat (Danau Toba) yang dikenal Lintas Timur namun malah kemudian turun dari Parapat – Porsea – Bukittinggi yang dikenal lintas Tengah (lintas Sumatera) namun kemudian malah pulangnya lewat Padang – Painan, Tapan yang dikenal lintas barat.
Sehingga perjalanan mudik kali ini melengkapi perjalanan menyusuri lintas timur, lintas Tengah dan lintas barat setelah sebelumnya berkebalikan lintas Timur, Lintas Tengah dan lintas barat.
Wuih. Alangkah luas sumatera. Alangkah luasnya rentang sekaligus perbedaan alam, budaya antara satu bentangan alam dengan bentangan alam yang lain.
Namun atas kekuasaan Tuhan, menikmati rasa keindahan yang dilakukan justru memperkuat rasa syukur. Sekaligus memberikan “bekal rohani” dan pengalaman batin kepada Keluarga besar.
Penulis adalah Advokat yang tinggal di Jambi
Discussion about this post