Oleh : Musri Nauli
Siapapun yang menjadi Menteri pergantian kabinet, itu memang menjadi hak Preogratif. Biarlah itu menjadi pertimbangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) didalam menentukan komposisi kabinetnya.
Namun yang menarik adalah pertemuan makan siang Jokowi dengan ketua Umum Partai. Seperti Ketua Umum Partai Golkar, Ketua Umum PAN, Ketua Umum PKB, Ketua Umum Partai Nasdem
Ketua Umum PPP, Ketua Umum Partai Gerindra dan Ketua Umum PDIP.
Apabila dilihat, hanya PAN yang kemudian diajak bergabung di Pemerintahan. Sedangkan Partai-partai lainnya relatif sudah “mengirimkan” kader-kadernya untuk menjadi Menteri.
Baik ketua Umum langsung seperti Ketua Umum Partai Golkar, Ketua Umum PPP, Ketua Umum Partai Gerindra.
Maupun mengirimkan kader-kadernya seperti PDIP, Partai Nasdem dan Partai PKB.
Dengan masuknya PAN kedalam barisan Pemerintahan maka menarik untuk dilihat secara politik.
Banyak yang menduga, selain mengajak PAN bergabung di Pemerintahan, konsolidasi Ketua Umum Partai “makan siang” dengan Presiden adalah bentuk “konsolidasi” partai-partai Pemerintah.
Dengan gaya “makan siang”, Jokowi justru mengambil momentum untuk memainkan seninpolitik yang justru mengaduk-aduk emosi.
Yap. Masih ingat “kunjungan politik” dan pertemuan Partai Golkar, PPP dan PAN. Acara kemudian memuncak dengan tiga Partai yang mengemas “Koalisi Indonesia Bersatu”.
PKB dan PKS kemudian juga mengemas agenda politik. Persiapan Koalisi menjelang Pemilu 2024. PKB dan PKS tinggal menunggu satu Partai lagi untuk mengusung Capres/cawapres.
Dengan peristiwa mengemas makan Siang, Jokowi sedang memainkan “emosi” publik yang sempat tersita dengan dua peristiwa yang dilakukan oleh Partai-partai Politik.
Pergantian Menteri yang langsung dihadiri Ketua Umum Partai politik justru Jokowi sedang memindahkan “bandul” politik.
Politik yang sempat heboh dengan dua peristiwa partai-partai politik sedang dimainkan Jokowi.
Dengan memindahkan perhatian publik dari luar Istana dan kemudian sekarang menyorot tajam ke Istana dengan melihat komposisi kabinet, Jokowi memang piawai “memainkan” seni. Sekaligus mengaduk-aduk emosi publik.
Cara ini sekaligus dapat meredam Suasana kisruh politik menjelang hajatan politik 2024.
Namun disisi lain, cara memimpin ala Jokowi sekaligus mengingatkan cara pandang kepemimpinan alam kosmpolitan masyarakat Jawa.
Tidak dapat dipungkiri, cara pandang alam kosmopolitan masyarakat Jawa terhadap kepemimpinan mengutamakan prinsip “kerukunan” dan sikap hormat kepada alam, pencipta, leluhur, guru, orang tua, agama, bangsa dan negara.
Rukun adalah kondisi adanya keseimbangan dan saling menghormati.
Jokowi “memerankan” sikap sopan santun. Menjaga emosi partai pendukung yang telah mengusungnya menjadi Presiden.
Jokowi sadar “kerukunan” tidak dibangun maka akan menimbulkan persoalan di kalangan elite partai pendukung.
Namun Jokowi juga hendak mengirimkan pesan kepada siapapun agar saling menghormati dan “tepa selira”. Sehingga diharapkan “apapun” keputusan yang diambil Jokowi tidak akan terjadinya pertikaian yang berlarut-larut.
Frans Magnis Suseno lebih suka menyebutkan “selaras dalam hidup bermasyarakat”.
Koentjaraningrat (Pak Koen) sendiri menyebutkan sikap ini kemudian tercermin “sederhana, jujur, adil, tepo selira, hemat, disiplin dan taat kepada hukum.
Ki Hajar Dewantara sendiri menegaskan mantra sakti yang sering kita dengar “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.”. Mantra sakti yang sering dilekatkan kepada Guru. Dan menjadi slogan yang dipegang teguh para guru di Indonesia.
Sebagai pemimpin, dia harus mampu menjadi memayu hayuning bawana untuk semua umat dipermukaan bumi.
Cara ini sukses dimainkan Jokowi ketika menyelesaikan polemik KPK-Kepolisian dan merangkul Prabowo paska Pilpres 2019.
Dan cara pandang Jokowi yang menempatkan “kerukunan” justru akan menciptakan kesolidan kabinet. Sekaligus “meneduhkan” gonjang-ganjing politik yang akan menguras energi.
Penulis adalah Advokat tinggal di Jambi
Discussion about this post