Oleh: Musri Nauli
Beberapa waktu yang lalu, dengan waktu yang berdekatan, acara Kompas “ROSI” Silalahi mewawancarai Keluarga Ganjar Pranowo dan Keluarga (Atikoh dan alam. Muhammad Zinedine Alam Ganjar. Biasa dikenal panggilan “alam. Putra semata Wayang Ganjar Pranowo) dan Gibran Rakabuming Raka (Gibran) (22 September 2023). Keduanya ditanya tentang Politik Dinasti. Hingga kini di YouTube telah ditonton 113,483 views
Dari keduanya kemudian kita dapat menarik pelajaran bagaimana mereka melihat tentang politik Dinasti yang heboh belakangan ini dan memantik polemik ditengah masyarakat.
Untuk melihat bagaimana pandangan alam, saya kemudian mengikuti wawancara mendalam Alam dengan Grace Thaher (Grace). Grace sendiri memfokusnya di kanal YouTube dengan pernyataan “Dia juga adalah seorang yang istimewa dan apa pandangan dia dari politik gen z sampai ke politik dinasti ini? Dan apakah satu hari dia akan mengikuti jejak ayahnya di dunia politik?. (26 Oktober 2023). Hingga kini telah ditonton 1,215,606 views.
Pertama. Tentang Putusan MK yang berkaitan dengan usia pencapresan. Dengan enteng Alam setuju dengan penurunan usia pencapresan. Namun dengan enteng alam berujar. Kenapa tidak sekalian 21 tahun ?
Sayapun sempat Ngakak mendengarkan jawaban spontan. Dari jawaban yang disampaikan oleh alam maka memiliki Makna Majas. Didalam kaidah Bahasa Indonesia, majas adalah menyindir seseorang. Tujuannya adalah mengungkapkan maksud dengan cara menyindir sehingga kesan dan pesan yang disampaikan justru terbalik dengan maksud dari kalimat itu.
Didalam Bahasa Melayu Jambi, majas sering digunakan didalam berbagai seloko. Seperti “Capek-capek ambek kayu di rimbo. Dekat sini banyak jugo”. Demikian kata-kata yang terdengar dari sang penutur ketika menghadiri acara lamaran di sebuah acara.
Kata-kata spontan yang terdengar sekaligus menunjukkan derajat penggunaan kata menggambarkan peristiwa yang terjadi.
Secara sekilas, kata-kata itu menunjukkan makna harfiah proses pengambilan kayu. Dengan menggunakan kata “capek-capek”, para penutur sedang menunjukkan upaya yang berat untuk mendapatkan Kayu di Tengah rimbo (hutan lebat). Kata capek adalah istilah untuk menggambarkan kata lelah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, lelah diartikan sebagai penat, letih, payak dan tidak bertenaga.
Secara harfiah “capek-capek” adalah upaya yang luar biasa dari sang penutur menggambarkan peristiwa mengambil kayu. Ditengah rimbo.
Lalu apabila kita hubungkan dengan kata-kata selanjutnya “dekat sini banyak jugo”, apakah upaya yang dilakukan sang penutur menjadi sia-sia.
Lalu mengapa pula “harus mengambil kayu di rimbo”, padahal “dekat sini” ternyata banyak juga ?
Kalau kita jeli mendengar kata “Capek-capek ambek kayo di rimbo. Dekat sini banyak jugo” bukan peristiwa sang penutur hendak mengambil Kayu di rimbo. Tapi makna kata yang digunakan sang penutur adalah kiasan. Dapat juga diartikan sebagai perumpamaan, ibarat, lambang, simbol, sindirian atau bisa juga cerita dari sebuah peristiwa ? Penggunaan perumpamaan, ibarat, lambang, simbol, sindirian adalah cara ungkapan dari sang penutur menggambarkan peristiwa.
Lalu peristiwa apa yang sesungguhnya terjadi ? Ternyata sang penutur hanya menggambarkan dengan kiasan, menggunakan simbol bahkan malah dapat dikatakan sebagai sindiran dari peristiwa yang terjadi ?
Konon, ketika sang penutur bersama-sama dengan tetangganya hendak mengantarkan lamaran dari Keluarga besar Lelaki ke rumah sang Perempuan. Perjalanan cukup jauh. Memakan waktu seharian. Perjalanan yang cukup jauh kemudian membuat sang penutur cukup melelahkan. Setelah tiba di tempat tujuan, melihat sang Perempuan yang hendak dilamar, sang penutur kemudian menyampaikan kata-kata yang menggambarkan simbol dari kiasan dan pesan yang disampaikan.
Lalu apa arti simbol dari sang penutur. Ternyata sang penutur hanya menyampaikan simbol ataupun pesan. Mengapa harus jauh-jauh melamar sang Perempuan yang ternyata di kampungnya sendiri cukup banyak Perempuan yang melebihi kecantikan dari sang Perempuan yang hendak dilamar ?
Saya lalu penasaran. Mengapa di usia semuda itu, Alam Ganjar menyampaikan pandangannya begitu dalam ?
Ternyata jawabannya kemudian ditemukan. Ada dimensi “dilema moral”. Dengan menyampaikan harus memperhatikan “dilema moral”, maka pernyataan “Kenapa tidak sekalian 21 tahun ?” Kemudian disambung dengan “dilema moral” maka Alam setuju dengan usia 21 tahun namun menimbulkan komplikasi “dilema moral’. Sehingga pernyataan “dilema moral” kemudian terjawab. Penurunan usia (yang dimaksudkan “kenapa tidak sekalian 21 tahun) adalah urusan “dilema moral”. Dan Alam ganjar kemudian “memilih” untuk tidak setuju penurunan usia pencapresan (Putusan MK) karena terdapat adanya urusan “dilema moral’.
Didalam memaknai pernyataan Alam Ganjar “Kenapa tidak sekalian 21 tahun” kemudian disandingkan dengan “dilema moral” maka lebih tepat dikategorikan sebagai “ironi”. Majas ironi menggambarkan kata-kata yang digunakan mengandung makna bertentangan dengan makna sesungguhnya.
Sehingga pernyataan Alam Ganjar “Kenapa tidak sekalian 21 tahun” kemudian disandingkan dengan “dilema moral” sesungguhnya pernyataan “dilema moral’ justru mereduksi “Kenapa tidak sekalian 21 tahun”. Sebuah perumpamaan yang hanya dapat disampaikan seseorang yang mempunyai “cara pandang yang jitu” sekaligus mempunya pemahaman yang mendalam tentang sebuah peristiwa.
Terus terang saya kaget. Sama sekali tidak terpikirkan. Diluar dari berbagai penolakkan putusan MK tentu saja lengkap dengan analisis yuridis normatif, pikiran mendasar menyebabkan pernyataan Alam Ganjar harus menjadi pedoman didalam melihat berbagai peristiwa.
Klir. Satu kosong untuk Alam Ganjar.
Kedua. Politik Dinasti. Ketika ditanyakan oleh Grace tentang Politik Dinasti termasuk ketika diminta menjadi Menteri atau komisaris tertentu, dengan enteng Alam Ganjar menjawab. Dia selalu membuka peluang untuk terlibat politik praktis.
Namun dengan renyah dia malah menyebutkan. Politik adalah membahagiakan orang banyak. Politik adalah pelaksanaan dan kemewahan untuk mewujudkan cita-cita. Peluang itu selalu ada.
Tapi dengan untuk membahagiakan orang banyak, harus membahagiakan diri sendiri dulu. Dengan usia yang Masih muda, tentu saja belum menjadi prioritas untuk terlibat politik praktis.
Dia harus mengikuti seluruh proses pematangan. Namun untuk sekarang, agenda politik sama sekali tidak menjadi perhatiannya. Dua Kosong untuk Alam
Ketiga Pemimpin muda. Tema ini menarik untuk didiskusikan. Dengan putusan MK, terhadap penolakkan dianggap tidak mendukung “anak muda” berpolitik praktis.
Namun lagi-lagi dengan renyah Alam ganjar menyebutkan “selama Masih ada yang mempunyai kapasitas diatas saya, selama saya belum memenuhi proses yang ditentukan”, maka usia bukanlah jaminan saya akan terlibat.
Saya memilih untuk mengikuti seluruh proses yang kemudian akhirnya menentukan. Apakah saya akan terlibat politik praktis ataupun tidak.
Lagi-lagi saya kaget. Bagaimana mungkin ada anak usia 21 tahun yang mempunyai pikiran yang tajam, kritis, menempatkan moral didalam melihat peristiwa termasuk juga tidak mencla-mencle didalam kerangka berfikirnya.
Tentu saja selain Alam Ganjar yang sudah mengikuti berbagai kompetisi dan menjuarai lomba internasional dalam kompetisi sains yang diadakan di Korea dan berhasil menyabet medali emas.
Kemudian, pada 2018-2019, bersama timnya, Alan berhasil meraih juara tiga dalam ajang Junior Achievement (JA) Asia Pacific Company of The Year Competition yang diselenggarakan oleh JA Asia Pacific di Manila, Filipina. Bahkan membawa pulang penghargaan terbaik dalam bidang Manajemen Keuangan. (Data berbagai sumber)
Dengan melihat cara pandang Alam ganjar sekaligus melihat jam terbang maka saya sedang membayangkan tentang Natsir Muda, Soekarno Muda, Tan Malaka Muda ataupun Hatta Muda. Perjalanan panjang yang harus ditempuh agar seseorang mempunyai pandangan yang tajam sekaligus mempunyai landasan cara berfikir yang kokoh.
Dan ukuran Anak muda “bukanlah usia”. Tapi cara pandang didalam melihat peristiwa.
Dan kita sedang menantikan “daya ledak” generasi Z ditengah hiruk pikuk generasi “alay’ yang diklaim “usia muda” dan kemudian malah terjebak segala sesuatu dengan ukuran biologis (usia).
Tentu saja Anak muda termasuk generasi Z tidak suka segala sesuatu diraih dengan mudah. Mereka suka tantangan. Mereka tidak cengeng. Mereka sudak menaklukkan tantangan apapun.
Termasuk juga menolak kemudahan apapun. Termasuk fasilitas dengan atas nama apapun. Apalagi kemudahan “Dinasti”.
Penulis adalah Advokat tinggal di Jambi
Discussion about this post