Oleh : Musri Nauli
Ditengah-tengah masyarakat Melayu Jambi, terhadap kesalahan berdasarkan hukum adat maka kemudian dijatuhi sanksi. Namun ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan hukuman ataupun sama sekali tidak mau mematuhi berbagai perintah maupun hukum adat Melayu Jambi kemudian dikenal sebagai “ingkar”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata “ingkar” diartikan sebagai “menyangkal”. Atau “tidak membenarkan” atau “tidak mengakui”.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi, kata ingkar dilekatkan kepada orang yang telah dijatuhi denda adat. Maka setelah diputuskan oleh pemangku adat, maka terhadap sanksi haruslah dilaksanakan.
Tidak dapat dipungkiri, terhadap sanksi adat yang telah dijatuhkan, kadangkala adanya pihak yang tidak mau mematuhinya untuk membayar Denda adat.
Ketika kemudian tidak mau mematuhi denda adat (sanksi) maka berbagai seloko kemudian menempatkan sebagai “ingkar” sebagai hukuman yang paling berat (Terberat). Hukuman yang tidak melaksanakan putusan denda adat sering juga disebutkan sebagai “plali” atau “buangan”. Ada juga yang menyebutkan sebagai “plali. Ada juga yang menyebutkan “orang buangan”.
Lihatlah seloko “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau. Ada juga yang menyebutkan Seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Ada yang menyebutkan “Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo”, atau “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang” atau “beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”.
Di Marga Tungkal Ulu, Pengingkaran terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”.
Mirip dengan Seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Ada juga yang menyebutkan “digantung tinggi, dibuang jauh” atau “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung” atau “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang”. Seloko juga dapat ditemukan didalam sumpah (kutukan) Rajo Jambi, Datuk Berhalo sebagaimana dituliskan oleh Prof. Dr. S Budhisantoso, dkk didalam bukunya Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang.
Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut “orang buangan’. Orang yang adalah cerminan dari keingkaran untuk melaksanakan sanksi adat.
Selain itu juga dikenal didalam berbagai seloko disebutkan “ingkar kepada negeri. Serah kepado Rajo”. Ada juga yang menyebutkan beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Atau “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”. Ada juga yang menyebutkan “Humo betalang jauh. Pusako mencil”.
Ada juga menyebutkan sebagai “plali” sebagaimana sering disebutkan didalam berbagai seloko seperti Seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan kumbang”. Atau ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo. Jadi plali adalah ketidakmauan melaksanakan sanksi hukum adat.
Dalam praktek sehari-hari dikenal dengan istilah “orang buangan”. “Sakit dak diurus, mati dak dikuburkan”.
Pelanggaran atau pengingkaran terhadap sanksi ataupun perundingan tidak dapat diselesaikan maka diserahkan kepada Pemangku Negeri yang ditandai dengan seloko “alam berajo, negeri bebatin”.
Maka sejak saat itu yang melakukan perbuatan dikeluarkan dari tanggungjawab Kepala Adat, tidak boleh penduduk lain berkunjung kerumahnya kalau ado orang yang datang orang tersebut dihukum, kalau sakit tidak boleh dibesuk kalau dibesuk yang membesuk dihukum, kalau kawin tidak ado orang yang mau ngurus, kalau mati pegawai syara‟ yang menyembahyangkan dan dikuburkan sendiri oleh keluarganya. Makna inilah yang kemudian dikenal sebagai “buangan negeri”.
Selain adanya penjatuhan sanksi adat hingga kesalahan plali selain akan mengakibatkan tidak diurus dalam kehidupan sosial sehari-hari juga akan menanggung beban bagi Keluarga besar dari pelaku.
Sehingga ketakutan pelaku hingga kemudian harus menanggung kesalahan plali sangat dihindarkan oleh pelaku.
Penulis adalah Advokat tinggal di Jambi
Discussion about this post