Aksara24.id – Muhammad Windi (28) kerap menyaksikan fenomena abrasi di daerah pesisir Jambi, yang berada di Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Proses pengikisan ini membuatnya resah, hingga terdorong untuk membentuk gerakan.
Pada tahun 2019, ia mendirikan Relawan Mangrove, yakni sebuah gerakan untuk melestarikan ekosistem mangrove di daerah yang menjadi tempat kelahirannya.
Alumni Universitas Jambi itu, mengatakan Relawan Mangrove tidak bergantung dengan donasi dari masyarakat dan bantuan dari pemerintah. Tanpa donasi dan bantuan, Relawan Mangrove terus eksis hingga sekarang.
“Banyak sekarang komunitas di Tanjung Jabung Barat atau yang mengatasnamakan organisasi besar, cuma bergerak atas nama donatur. Lalu, timbul Relawan Mangrove tanpa harus bergerak melalui ‘jendela’ pemerintah dan tanpa harus ada donatur,” ujarnya dikutip pada Jambikita,Sabtu (9/7).
Anggota Relawan Mangrove mencapai 30 orang, yang sebagiannya juga tergabung dalam komunitas pengendara motor, Mapala Pamsaka, dan berbagai komunitas lainnya. Kata Windi, puluhan orang tersebut tidak terikat sebagaimana organisasi dan komunitas.
Berbagai kegiatan telah diwujudkan para Relawan Mangrove. Misalnya, melakukan penanaman di hari-hari besar, yaitu Hari Kemerdekaan, Hari Air Sedunia, dan lainnya. Dalam satu tahun, Relawan Mangrove dapat mengadakan kegiatan penanaman sebanyak 5 kali.
Jenis tumbuhan yang ditanam, yakni Bakau Kepala Merah, Pidada, Penyirih, Bakau Gajah, dan sebagainya. Relawan Mangrove paling sedikit menanam 400 batang tumbuhan dalam satu kali kegiatan.
Windi menyampaikan pihaknya fokus melestarikan mangrove di Parit 9 dan Pangkal Babu. “Kenapa Pangkal Babu? Karena itu ekowisata mangrove. Lalu, kenapa Parit Sembilan? Karena itu bibir pantai,” ujarnya.
Ia prihatin dengan kondisi Parit 9. Di sana sudah banyak perkebunan yang mengancam ekosistem mangrove. Bahkan, sudah terjadi abrasi hingga mencapai 50 meter.
“Jumlah tanaman mangrove di bibir pantai sangat kurang. Jadi, otomatis tanah di bibir pantai bakalan terkikis air laut. Ada bibir pantai yang dimiliki seseorang. Padahal itu jelas bibir pantai, tapi kok bisa dimiliki seseorang? Tapi, kata orang itu dahulu lahannya berjarak 50 meter, namun terjadi abrasi,” ungkapnya.
Relawan Mangrove menyediakan bibit tanaman secara swadaya, dan bekerja sama dengan salah satu kedai kopi. Menurut Windi, penjualan kopi dengan menggunakan cup telah menyumbangkan limbah plastik, sehingga sebagian hasil penjualan ini perlu disalurkan untuk melestarikan lingkungan.
“Kita menggunakan uang pribadi kita sendiri. Tapi, di tahun 2020 kita bekerja sama dengan Kedai Kopi Kuale. Setiap pembelian 1 cup minuman, Rp 500 untuk lingkungan yang diteruskan oleh Relawan Mangrove dan Mapala Pamsaka,” ujarnya.
Berbagai rintangan dan kendala sedang dihadapi Relawan Mangrove. Pendapatan Kedai Kopi Kuale saat ini mengalami penurunan, sehingga relawan tersebut agak kesulitan menyediakan bibit tanaman bakau.
Kendati demikan, pandangan masyarakat yang meragukan upaya pelestarian lingkungan, menjadi kendala yang lebih besar. Masyarakat pun tidak peduli dalam melindungi lingkungan Parit 9 dan Pangkal Babu.
“Kendala besar kami sebenarnya bukan kurangnya uang. Tetapi, kesadaran untuk melestarikan dan membudi-dayakan mangrove. Masyarakat juga kurang pemahaman tentang banyak hal positif dari mangrove. Pemerintah pun cuma berfokus melakukan penanaman, tetapi tidak melakukan budi daya apa yang sudah ditanam itu,” ungkap Windi.
Bahkan, ujar Windi, masyarakat menganggap adalah hal yang percuma menanam tumbuhan di bibir pantai, karena tumbuhan akan hanyut.
“Banyak ucapan buruk yang muncul saat kita menanam. ‘Kamu menanam seribu pohon? Yakin bisa tumbuh?’ Itu kata masyarakat sekitar,” katanya.
Tidak peduli pada anggapan masyarakat, Relawan Mangrove terus bergerak agar semakin banyak tanaman mangrove yang tumbuh. Relawan ini memiliki tekad yang kuat dalam melakukan penghijauan.
“Kita menanam, misalnya 10 batang, pasti ada 1 yang tetap tumbuh, biarlah yang 9 hanyut. Tapi, yang satunya kita pertahankan di lokasi yang sudah kita persiapkan. Terbukti, sekarang banyak yang menyangkut di bibir pantai. Kun fayakun saja,” tutur Windi.
Ia berharap gerakan seperti ini terus berlanjut, dan penghijauan yang dilakukannya dapat bermanfaat di masa depan.
“Kita memikirkan ke depan. Saya ingin generasi yang sekarang, dan generasi yang akan datang punya kesadaran baik untuk ditinggalkan. Kami dari kecil, sampai besar di Tungkal, setidaknya ada hasil yang ditinggalkan, yakni penghijauan,” pungkasnya.(Bhj/Hn)
Discussion about this post