Oleh: Musri Nauli
Ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal berbagai seloko seperti “Alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin”.
Ada juga yang menyebutkan “alam berajo. Negeri bebatin”. Bahkan ada juga yang menyebutkan “alam berajo. Negeri Bebatin. Kampung betuo”.
Seloko ini kemudian dilekatkan kepada Pemimpin yang dihormati ditengah masyarakat yang sering dilengkapi dengan istilah adat “Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin”. Atau “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai. Atau “Alam sekato rajo, negeri Sekato Batin.
Seloko ini juga dikenal di Minangkabau “goenoeng nan tinggi, rimbo nan dalem, padang nan lawas, radja nan poenja”. (Lihat Het Sumatra’s Westkust-Rapport en de Adat, P. DE ROO DE LA FAILLE , Hal. 39)
Penghormatan terhadap Pembesar dapat dilihat dalam ujaran “Alam sekato Rajo. Negeri sekato Bathin”. Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Dalam konteks Margo, maka dapat ditafsirkan sebagai “Kekuatan Batin dari Desa”.
Penghormatan terhadap struktur ini sering disebutkan didalam seloko “kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin.” Di Margo Sungai Tenang menyebutkan “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai.” Di Margo Sumay biasa dikenal dengan ujaran “Alam sekato rajo, negeri Sekato Batin.”
Dalam proses membuka hutan, MHA tunduk dengan seloko “alam sekato rajo. Negeri sekato bathin”. Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Hak ini kemudian dikenal dengan istilah hak Membuka Tanah (ontginningrecht). Ada proses pembagian terhadap yang berhak membuka hutan, waktu dan luas yang diberikan. Proses ini masih dihormati sehingga hutan masih terjaga dan diwariskan untuk anak cucu.
Penulis adalah Advokat Tinggal di Jambi
Discussion about this post