Oleh: Yudi Armansyah
Penetapan Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden 2024 dari partai Nasdem memunculkan banyak tanggapan, baik pro ataupun kontra. Dikalangan politisi, terutama dari koalisi pemerintah cenderung banyak yang meragukan atas pilihan politik Nasdem tersebut. Sebaliknya, dari kalangan simpatisan banyak yang memberi dukungan atas deklarasi tersebut.
Meskipun sebenarnya deklarasi ini tidak terlalu mengejutkan sebagai langkah politik paling beresiko yang diambil partai pimpinan Surya Paloh. Mengapa demikian? Karena sedari awal Surya Paloh telah banyak memuji kepemimpinan Anies, disaat politisi lain cenderung berseberangan dengan kebijakan mantan gubernur Jakarta tersebut.
Setidaknya, tiga tahun lalu gestur politik Surya Paloh telah mengindikasikan adanya keberpihakan terhadap Anies. Kala itu, disaat publik mencemooh Anies karena dianggap tidak dapat berbuat sebaik Ahok dalam memimpin Jakarta, ditambah munculnya beberapa persoalan, seperti anggaran fantastis ‘lem aibon’, ‘proyek getah getih’, serta penanggulangan banjir yang dianggap sebagian besar publik gagal.
Nyatanya, Surya Paloh tetap berdiri dibelakang Anies untuk membela, serta memasang badan agar Anies tetap fokus melaksanakan pembangunan Jakarta. Terakhir, dalam pergelaran Formula E yang dikritik habis oposisi. Nasdem tidak hanya membela, tetapi juga mengirim kadernya untuk menjadi ketua panitia lomba balap mobil listrik dunia tersebut.
Kini penetapan Anies semakin mempertegas keberpihakan itu. Diawali dengan penjaringan bakal calon presiden Nasdem yang mengerucut pada tiga nama populer, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan Anies Baswedan. Puncaknya, Anies resmi ditetapkan sebagai bakal calon presiden dari Nasdem.
Di saat partai lain masih malu-malu untuk menunjukkan calon presidennya. Nasdem dengan berani mencalonkan Anies untuk pemilu yang diprediksi akan memunculkan tiga pasangan calon.
Penetapan itu disatu sisi mempertegas komitmen, dan konsistensi Nasdem untuk bersama Anies pada pemilu 2024. Di sisi lain, sebagai pembuka munculnya capres-cawapres dari partai lain. Meskipun untuk kasus Gerindra juga dapat dikatakan telah melakukan hal yang sama dengan mentahbiskan nama Prabowo Subianto sebagai capres Gerindra.
Namun bagi publik, penetapan itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang istimewa, hal itu dikarenakan ia telah tiga kali mencalonkan dari partai yang sama, dan berakhir dengan kekalahan. Ditambah “pembelotannya” ke kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin telah membuat para pemilihnya kecewa, dan diprediksi akan menjadi floating mass pada pemilu 2024.
Namun, menarik mencermati kiprah Gerindra, dan PKB yang sedari awal dalam pendaftaran partai ke KPU sangat kompak, terakhir dalam salah satu momen mereka semakin memperlihatkan “kemesraan” walaupun belum ada pernyataan resmi dari kedua partai. Bisa jadi antara Prabowo dan Muhaimin Iskandar akan segera mendeklarasikan diri jelang pendaftaran calon.
Kembali pada penetapan Anies sebagai capres Nasdem, telah membuat sebagian publik sangat “respek”, serespek partai politik yang sedari awal memang diprediksi akan berkoalisi, seperti Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat.
Demokrat misalnya, langsung mengundang Anies ke kantor DPP, dan tanpa disetting para pengurus demokrat menyambutnya dengan sangat antusias sebagai calon presiden dari demokrat. Ditempat berbeda, ratusan kader PKS Yogyakarta “mendeklarasikan” dukungan terhadap Anies, sekalipun ditingkat DPP belum memberi keputusan.
Persoalan dua partai ini tinggal menyisakan persaingan untuk memperebutkan kursi wakil presiden yang sengaja “dilelang” Surya Paloh untuk kemudian diberikan kebebasan pada Anies untuk memilihnya. Sekali lagi, Surya Paloh telah berhasil menjadi “king maker” terbaik, sekaligus memaksa dua partai tersebut untuk legowo seandainya tidak terpilih sebagai calon wakil presiden.
Kini Anies dan Nasdem mulai merengkuh impact positif dari deklarasi tersebut. Menurut lembaga survei SMRC, para pemilih Nasdem diprediksi naik signifikan karena telah mencalonkan Anies. Diyakini simpatisan, dan loyalis Anies diberbagai daerah akan mengalihkan suaranya ke partai Nasdem.
Potensi suara lain yang akan masuk ke Anies, dan Nasdem adalah kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah, yang dalam beberapa tahun terakhir terdampak ekonomi akibat kasus covid-19, kenaikan BBM, dan bahan pokok. Bisa jadi suara PDIP sebagai partai pemenang pada pemilu 2019 akan tergerus, dan merapat ke Anies, serta partai Nasdem tentunya.
Selain itu, potensi pemilih Anies datang dari kader, dan simpatisan partai PKS, dan demokrat angkanya jika dikalkulasi bisa mencapai 10 persen secara nasional. Khusus partai PKS memiliki kader militan hingga ke akar rumput, sebaliknya, demokrat masih memiliki pemilih loyalis yang telah ada sejak zaman keemasan SBY.
Potensi suara lain yang tidak kalah mentereng, datang dari Indonesia Timur diyakini ada nama besar Jusuf Kalla dan Syahrul Yasin Limpo. Khusus Kalla yang memang memiliki kedekatan dengan Anies, terutama sejak dukungan Kalla pada Pilkada Jakarta lalu. Pun dengan Syahrul Limpo yang merupakan tokoh penting di Sulawesi.
Oleh karena itu, deklarasi Anies tidak dapat dikatakan hanya soal gagah-gagahan atau “curi start”. Lebih dari itu, akan membuka koalisi alternatif yang dalam dua pilpres terakhir tidak memberi pilihan yang lebih banyak kepada rakyat, kecuali hanya melahirkan skisma, dan pembelahan di masyarakat.
Penulis adalah dosen Ilmu Pemerintahan UIN STS Jambi
Discussion about this post