Oleh : Sufie Ikhlasiyah
Selama jutaan tahun, planet kita telah menyaksikan periode dengan kondisi yang lebih hangat dan lebih dingin dibandingkan saat ini. Namun, pemanasan global yang telah kita rasakan saat ini sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia khususnya pembakaran bahan bakar fosil yang melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer. Beberapa negara kini melirik kebijakan pajak karbon sebagai instrumen penting dalam transformasi ekonomi menuju model yang lebih berkelanjutan.
Menurut laporan State and Trends of Carbon Pricing 2023 yang dirilis Bank Dunia, terdapat 73 negara yang berinisiatif untuk menerapkan pajak karbon dimana 39 yurisdiksi nasional dan 33 yurisdiksi subnasional yang terpilih. Di Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki risiko perubahan iklim dapat dilihat berdasarkan laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengalami kenaikan suhu sekitar 0.04°C pada tahun 2023.
Resiko dari perubahan iklim dapat mengakibatkan kelangkaan air, kerusakan ekosistem lahan, kerusakan ekosistem lautan, penurunan kualitas kesehatan, dan kelangkaan pangan. Ini dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi di Indonesia. Adanya pajak karbon sebagai kebijakan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah dalam pungutan atas penggunaan bahan bakar terutama karbon dioksida (CO2) untuk mencapai target minimum emisi karbon yang saat ini ada sehingga dapat mencegah perubahan iklim global yang semakin memburuk.
Menyikapi permasalahan tersebut, Indonesia berkomitmen kuat untuk mengatasi perubahan iklim dengan berupaya mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2060 atau bahkan lebih melalui kebijakan pajak karbon yang telah tertuang di dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 berlaku pada 1 April 2022 kemudian mengenai skema dan aturan rincian pajak karbon diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022. Namun, pemerintah menyatakan belum siap sehingga menunda implementasinya menjadi 1 Juli 2022. Memasuki Juli 2022, pemerintah kembali menyatakan bahwa pajak karbon belum bisa berlaku dan masih dalam kajian.
Kebijakan Komprehensif
Di Indonesia terdapat dua instrumen Nilai Ekonomi Karbon (carbon pricing) yang menjadi paket kebijakan yang komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim yaitu:
- Instrumen Perdagangan yang terdiri atas Perdagangan Ijin Emisi (Emission Trading System/ ETS) dan Offset Emisi (Crediting Mechanism);
- Instrumen Non Perdagangan yang terdiri atas Pajak/ Pungutan atas Karbon (Carbon Tax) dan Result Based Payment (RBP).
Implementasi pajak karbon akan diselaraskan dengan mekanisme perdagangan karbon. Dengan begitu pemanfaatan pendapatan negara pajak karbon dapat direalisasikan dengan memiliki kemanfaatan pengurangan emisi gas rumah kaca dari sumber emisi dan penerimaan pajak karbon yang digunakan untuk menambah dana pembangunan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, serta dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial.
Peta Jalan Pajak Karbon
Indonesia baru-baru ini mengambil pilihan untuk menerapkan kebijakan pajak karbon sebagai cara untuk mendorong penerapan energi terbarukan secara luas dan menahan emisi sumber utama karbon yang telah lama dibahas dalam Perjanjian Paris di tingkat Internasional. Mengingat Indonesia sebagai salah satu dari sepuluh negara di dunia yang bertanggung jawab atas lebih dari separuh emisi gas rumah kaca dunia.
Peta jalan untuk peran pajak karbon telah dirancang dalam transisi energi yang adil dan berkelanjutan sebagai berikut:
- Tahun 2021
- Penetapan Perpres Nilai Ekonomi Karbon;
- Penetapan UU HPP dengan salah satu klausul nya adalah pajak karbon;
- Pengembangan mekanisme teknis Pajak Karbon dan Bursa Karbon;
- Piloting perdagangan karbon di sektor pembangkit oleh Kementerian ESDM dengan harga rata-rata Rp30.000/CO2e; dan
- Evaluasi penyelenggaraan piloting perdagangan karbon di sektor pembangkit oleh Kementerian ESDM.
- Tahun 2022
- Sinkronisasi Cap & Trade dan Cap & Tax Sub Sektor Ketenagalistrikan;
- Penetapan cap u/ sektor pembangkit listrik batubara oleh Kementerian ESDM;
- Penerapan pajak karbon (cap & tax) secara terbatas pada PLTU Batubara dengan tarif Rp30.000/CO2e. Tarif pajak karbon akan dievaluasi secara periodik dan ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon;
- Penyiapan Sistem MRV pendukung perdagangan karbon (SRN); dan
- Penyiapan regulasi teknis perdagangan karbon (KLHK).
- Tahun 2025
- Implementasi perdagangan karbon secara penuh melalui bursa karbon; dan
- Perluasan sektor Cap & Trade dan Cap & Tax dengan pentahapan sesuai dengan kesiapan sektor.
Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani menyebutkan masih banyak industri yang tidak mengerti, bahkan tidak peduli dengan ‘nilai’ dari karbo itu sendiri. Padahal, Indonesia sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan menghasilkan karbon yang cukup tinggi. Oleh karena itu, sebelum menerapkan pajak karbon kepada para pengusaha, pemerintah terlebih dahulu membuka bursa atau pasar karbon untuk membuat nilai dari karbon. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan perkiraan harga karbon yang akan diperdagangkan dalam bursa karbon berada rentan US$2 – US$24 per ton. Selain itu, masih dalam perkiraan harga perdagangan karbon masih belum diterapkan dalam peraturan yang ada sekarang. Berbeda dengan bursa karbon, progres pajak karbon di Indonesia masih jauh dari rencana penerapannya.
Melasir Bisnis.com, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan bahwa penerapan pajak karbon masih melihat peta jalan (road map) dan belum tentu diselesaikan pada tahun yang telah dirancang. Karena dengan adanya road map, nantinya membutuhkan perencanaan yang hati-hati, sehingga penetapan pajak karbon berada pada peta jalan yang jelas. Selain itu, Kementerian Keuangan menyatakan telah melakukan pembicaraan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menetapkan pajak karbon ini. Sampai saat ini, kajian dan penyusunan peta jalan implementasinya masih berjalan dan belum menunjukan akan selesai dalam waktu dekat.
Dengan demikian, dalam rangka menuju Net Zero Emission meskipun payung hukum untuk pajak karbon telah ditetapkan, implementasinya masih tertunda. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia akan menerapkan Pajak Karbon pada tahun 2026 karena penerapan pajak karbon masih menunggu Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan ditetapkan oleh negara-negara Eropa pada tahun 2026. Lebih lanjut, pemerintah menargetkan pemberlakuan pajak karbon mulai berlaku pada tahun 2026.
Penulis adalah Mahasiswi Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Discussion about this post