Oleh : Musri Nauli
Tema hukum tentang penipuan atau hubungan perdata memang seringkali beririsan. Saling berhimpitan hingga dapat menafikan satu dengan yang lain.
Secara prinsip terhadap tidak terpenuhinya “isi perjanjian” kemudian dikenal sebagai ingkar janji (wanprestasi). Sehingga terhadap “ingkar janji” kemudian harus diselesaikan melalui mekanisme gugatan ingkar janji ranah hukum acara Perdata di Pengadilan Negeri.
Namun berbeda dengan “penipuan” yang telah ditetapkan didalam KUHP yang harus diselesaikan proses hukum acara pidana di Pengadilan Negeri.
Tema ini seringkali menimbulkan problematika dalam praktek hukum di Indonesia. Banyak sekali proses yang seharusnya diselesaikan di ranah hukum acara Perdata namun kemudian diseret ke ranah hukum acara pidana dengan menetapkan pasal-pasal KUHP.
Sebenarnya, posisi dan pandangan Mahkamah Agung telah tegas. Didalam berbagai Yurisprudensi dan hingga kini sikap Mahkamah Agung tetap menempatkan sebagai mekanisme hubungan Perdata yang harus diselesaikan Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri.
Sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Agung, Mahkamah Agung menegaskan, Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan. Namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan. Kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik.
Konsep perjanjian pada dasarnya adalah hubungan keperdataan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.). Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan Pasal 1365 B.W., orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji.
Namun pada praktiknya ada orang-orang yang dilaporkan ke Polisi karena tidak memenuhi janji yang telah ditentukan.
Umumnya, pihak pelapor merasa bahwa orang tersebut telah menipu pelapor karena janji yang harus dilaksanakan ternyata tidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang dan/atau uang kepadaorang tersebut.
Kondisi ini menimbulkan permasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi. Sehingga penyelesaian perkaranya harus dilakukan secara perdata.
Dan kapan orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.
Atas permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa apabila seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebut bukanlah sebuah penipuan namun masalah keperdataan
Sehingga orang tersebut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Pandangan ini dapat ditemukan dalam Putusan No. 598K/Pid/2016. Putusan No. 598K/Pid/2016 kemudian diikuti Putusan Mahkamah Agung 1689 K/Pid/2015, Nomor 43 K/Pid/2016, Nomor 598 K/Pid/2016, Nomor 1327 K/Pid/2016, Nomor 1336 K/Pid/2016, Nomor 342 K/Pid/2017, Nomor 994 K/Pid/2017, Nomor 902 K/Pid/2017, Nomor 211 K/Pid/2017, Nomor 484 K/Pid/2017, Nomor 1316 K/Pid/2016, Nomor 366 K/Pid/2016 dan Nomor 366 K/Pid/2017.
Dengan demikian maka apapun alasan yang dijadikan bahan pelaporan dari proses hukum pidana tidak dapat dibenarkan. Sehingga proses yang harus ditempuh dan mekanisme yang harus dijalani adalah gugatan ingkar janji melalui mekanisme Hukum Acara Perdata.
Penulis adalah Advokat yang tinggal di Jambi
Discussion about this post