Oleh : Dwi Fikri Anggorowati
Sistem perpajakan merupakan salah satu sistem yang memiliki tingkat kompleksitas tinggi sehingga perlu dilakukan analisis melalui berbagai perspektif. Setidaknya terdapat dua pilar yang dibutuhkan untuk mengadopsi sistem perpajakan yang ideal bagi sebuah negara, yakni Kebijakan dan Administrasi Perpajakan.
Kedua pilar tersebut saling berkaitan satu sama lain, dimana kebijakan yang berlaku di dalam naskah perundang-undangan akan terlaksana berkat peran administrasi perpajakan.
Di sisi lain, tingginya tingkat efisiensi baik dari segi fiskus maupun wajib pajak menjadi sebuah faktor penentu dalam menghasilkan administrasi pajak yang baik. Terpenuhinya keseimbangan antara kebijakan dan administrasi akan menghasilkan terpenuhinya asas revenue productivity yang menjadi penopang utama kehidupan negara.
Pemerintah memiliki atensi besar untuk turut menggerakkan estafet reformasi perpajakan yang berlangsung hingga saat ini, salah satunya dengan reformasi administrasi perpajakan melalui penerapan single identity number (SIN).
Dalam menganalisis administrasi, juga diperlukan pendekatan melalui sisi politik dan kebijakan publik. Saat terjadi proses pada ranah manajemen politik, terdapat segmentasi peran antar pemangku kebijakan. Artinya, dengan bermacam-macam peran yang dimiliki oleh para pemangku kebijakan, harus tetap melibatkan pihak terkait selama proses pengambilan keputusan. Begitu pun apabila pemerintah ingin menerapkan nomor identitas tunggal sebagai upaya simplifikasi administrasi pajak di Indonesia.
Beberapa pihak terkait perumusan kebijakan ini harus saling bersinergi dan memberikan aspirasi agar kelak kebijakan ini mampu dikelola dengan baik.
DJP sebagai pihak yang memiliki kebutuhan paling utama merupakan aktor penting dalam merumuskan hasil keputusan. Perannya dalam menciptakan sistem administrasi pajak yang mudah bagi semua pihak, baik dari sisi wajib pajak maupun fiskus.
Efisiensi dari kebijakan diterapkannya SIN dari sisi wajib pajak adalah mudahnya mengingat sebuah nomor yang berlaku untuk seluruh kepentingan perpajakan maupun non perpajakan. Selain itu, dengan adanya SIN, juga memudahkan fiskus untuk melacak daftar harta yang tersebar melalui transaksi-transaksi terutama dari sektor yang sebelumnya sulit dijangkau oleh radar perpajakan Indonesia.
DJP sebagai lembaga yang bergerak di bawah naungan Kemenkeu tentunya juga turut melibatkan pihak Kemenkeu dengan kepentingan unsur penerimaan negara. Sebab dengan dibentuknya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang salah satu agenda komitmen perbaikan administrasi berupa SIN, berpengaruh pada tujuan Kemenkeu untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, sehat, dan akuntabel serta mengoptimalkan penerimaan negara yang berkeadilan.
Mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam penerapan kebijakan SIN ini dapat didukung dengan tertatanya data wajib pajak sesuai NIK melalui sebuah teknologi yang terenkripsi dengan baik. Didalamnya sudah mencakup data-data harta dan kewajiban serta transaksi WP untuk memudahkan pelacakan oleh fiskus. Kemudahan administrasi bagi WP mencakup hal pelaporan, misalnya data yang tertera pada hasil temuan fiskus bukanlah data yang sebenarnya, maka WP cukup mengajukan kesalahan tersebut dengan prosedur yang mudah dan bukti yang valid. Pada langkah terakhir, kebijakan yang sudah matang dalam proses sebelumnya akan melahirkan outcome berupa kebijakan publik dan diimplementasikan secara langsung di masyarakat, yakni NPWP yang berasal dari NIK.
Dalam konteks kompleksitas kebijakan publik, telah dibahas bahwa dalam menghasilkan outcomes bagi rakyat melibatkan berbagai kebijakan pula. Sebagai contoh, misal untuk menerapkan SIN dibutuhkan sebuah kebijakan lain terkait kewajiban yang disertai sanksi (apabila melanggarnya) bagi setiap transaksi dengan syarat tertentu supaya membubuhkan NIK. Hal ini guna mengefektifkan kebijakan SIN oleh DJP yang salah satu tujuannya mempermudah pelacakan aset yang masih berada di bidang underground economy.
Pembahasan di atas juga berkaitan erat dengan konsep governance. Argumen ini didasarkan pada peran pemerintah sebagai penyedia lingkungan yang sesuai bagi tumbuhnya sistem ekonomi dan tertibnya penegakan aturan kelembagaan di Indonesia.
Maksudnya, untuk menciptakan sistem administrasi baru yang menjadi solusi atas problematika sistem integrasi data yang rumit dan terpecah, pemerintah melibatkan institusi atau lembaga lain yang memiliki peran masing-masing di bidang kerjanya. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah merupakan bagian dari peran negara sesuai konsep governance dalam hal menyediakan pelayanan bagi rakyat dan stakeholder lainnya. Kemudian, sebagai bentuk timbal baliknya, rakyat dan stakeholder lainnya akan memberikan sumber daya untuk negara.
Studi kasus di atas secara garis besar mengutamakan peran dari DJP sebagai dinamisator administrasi pajak yang utama dengan berdasar pada fungsi dan tugas lembaga tersebut. DJP sebagai sebuah institusi/lembaga yang dinaungi oleh Kemenkeu memiliki fungsi secara langsung dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan, menyusun standar, prosedur, norma, dan kriteria membimbing teknis dan mengevaluasi di bidang perpajakan serta melaksanakan administrasi lembaga.
Keberadaan DJP sebagai lembaga penerima pajak yang andal, profesional, dan dipercaya mampu menjadi tulang punggung negara sejalan dengan penerapan konsep institusi. Konsep institusi kelembagaan diartikan sebagai tatanan yang saling terikat antara masyarakat dan organisasi dengan membentuk sebuah pola hubungan yang ditentukan oleh faktor-faktor pengikat seperti norma dan kode etik yang bersama-sama mencapai tujuan kolektif (Djogo, n.d.).
Fungsi DJP juga selaras dengan konsep birokrasi modern yang memiliki ciri-ciri keterlibatan pihak dengan posisi tertentu dan mengemban tugas serta tanggung jawab; terimplementasinya aturan, regulasi, dan standar yang mengatur kinerja lembaga (Abdullah, 1991).
Ketiga komponen ini (institusi, fungsi DJP, dan konsep birokrasi yang modern) menuju pada sebuah titik temu, yakni sebuah institusi atau lembaga yang menganut birokrasi modern akan mengatur tentang prosedural, kode etik, dan segala macam “perangkat aturan” yang digunakan dalam bertindak.
Dengan diresmikannya kebijakan Single Identification Number (SIN) demikian pula dengan DJP yang berperan sebagai sebuah institusi perpajakan di Indonesia juga telah melakukan penyusunan standar dalam melaksanakan fungsinya yang sejalan dengan konsep institusi dan birokrasi yang modern.
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Ilmu Administrasi tahun 2022 Universitas Indonesia






































Discussion about this post