Pesisir Selatan, Aksara24.id – Proses penunjukan dan penetapan kawasan hutan di Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, yang dilakukan pada tahun 2013, kini kembali menuai sorotan.
Tokoh masyarakat setempat, Haji Muman, menilai proses tersebut penuh kejanggalan dan berpotensi melanggar berbagai peraturan hukum.
Dalam keterangannya kepada awak media, Sabtu (19/4/2025), Muman menegaskan bahwa penetapan kawasan hutan itu telah merugikan masyarakat adat dan menimbulkan konflik agraria di lapangan.
“Penetapan kawasan hutan di Silaut dilakukan tanpa menghormati hak-hak masyarakat adat. Kami menduga kuat, proses ini penuh rekayasa dan tidak mematuhi regulasi yang berlaku,” kata Muman.
Ia menyebutkan sejumlah aturan yang dilanggar dalam penetapan tersebut, antara lain:
- Permenhut No 62/Menhut-II/2013, yang mengharuskan peta kerja penataan batas kawasan disetujui oleh minimal 2/3 dari anggota panitia.
- Putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011, yang menegaskan negara wajib melindungi hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan.
- UUD 1945 Pasal 28H ayat 4, yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh lingkungan yang baik dan perlindungan hukum atas tanah mereka.
- Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang mengatur hak atas tanah dan pemanfaatannya oleh masyarakat.
- Pelaksanaan teknis penetapan batas kawasan juga dianggap tidak melibatkan masyarakat secara menyeluruh dan transparan.
Menurut Muman, tanah yang kini ditetapkan sebagai kawasan hutan sebenarnya merupakan lahan garapan masyarakat hukum adat selama bertahun-tahun.
Bahkan sebagian dari lahan tersebut telah masuk dalam konsesi izin IUPHHK-HTI PT. Sukses melalui SK No. 776/Menhut-II/2014, seluas 1.583,90 hektare, yang terdiri dari:
- Lahan sekunder: 209,60 ha
- Perkebunan: 1.183,20 ha
- Lahan terbuka: 107,10 ha
- Semak belukar: 70,50 ha
- Lahan kering: 13,50 ha
Muman juga mengaku memiliki bukti fisik dan legalitas hak atas lahan, seperti:
- Surat alas hak Kelompok Tani Bukit Gelanggang Puyuh seluas 600 ha (2011)
- Surat alas hak atas nama Muman dan Elvia Roza (2012 & 2013)
- Surat alas hak atas nama warga lain, seperti Jawarlin dan Ali Iwan (2017)
“Semua ini bisa kami buktikan. Masyarakat memiliki alas hak, dan sudah lama mengelola lahan tersebut secara turun-temurun,” tambahnya.
Ia berharap pemerintah dan lembaga berwenang segera mengevaluasi kembali proses penetapan kawasan hutan ini dan membuka ruang dialog bersama masyarakat.
“Kami hanya ingin keadilan. Jangan sampai hak-hak masyarakat adat diabaikan begitu saja,” tutup Muman. (HS)
Discussion about this post