Akasara24,id – Ancaman terhadap kebebasan pers kembali terjadi. Seorang wartawan media daring di Bengkulu, Amin Gondrong, mengalami intimidasi saat meliput proyek pembangunan jembatan gantung di Desa Kayu Manis, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, pada Rabu (15/10/2025).
Amin dihadang oleh seorang warga yang membawa parang ketika sedang melakukan peliputan di lokasi proyek. Insiden itu berawal dari laporan masyarakat mengenai jalan desa yang rusak akibat aktivitas alat berat milik pelaksana proyek.
Menindaklanjuti laporan tersebut, Amin bersama tim turun langsung ke lapangan untuk memverifikasi dan mendokumentasikan kondisi proyek.
“Setibanya di lokasi, kami menemukan laporan warga memang benar. Jalan desa rusak akibat lalu lintas alat berat milik pelaksana proyek jembatan,” ujar Amin, Rabu (15/10/2025).
Namun, situasi berubah tegang saat tim hendak meninjau lebih jauh untuk mengonfirmasi pihak pelaksana proyek. Seorang warga yang diduga memiliki keterkaitan dengan proyek tiba-tiba menghadang sambil mengacungkan sebilah parang ke arah jurnalis.
Meski mendapat ancaman, Amin dan tim memilih tidak melawan dan segera melapor ke Polsek Selupu Rejang untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Kapolsek Selupu Rejang Iptu Ibnu Sina Alfarobi membenarkan adanya laporan tersebut.
“Benar, ada laporan dari seorang wartawan yang dihadang saat meliput. Kami sedang memeriksa saksi dan mengumpulkan bukti di lapangan,” ujar Ibnu Sina.
“Kami pastikan kasus ini akan diusut tuntas. Tidak boleh ada bentuk intimidasi, apalagi ancaman kekerasan terhadap jurnalis di wilayah hukum kami,” tegasnya.
Peristiwa ini menambah daftar panjang kasus intimidasi terhadap jurnalis di daerah. Tindakan menghadang atau mengancam wartawan dengan senjata tajam bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap hak publik atas informasi.
Pengamat media dari Bengkulu Institute for Press Freedom menilai insiden ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap kerja jurnalistik yang independen.
“Ini bukan sekadar penghadangan fisik, tapi bentuk pembungkaman terhadap suara kebenaran. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik, bukan musuh masyarakat,” ujar seorang pengamat media lokal yang enggan disebutkan namanya.
Ia menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers dan memberikan perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Sejumlah organisasi wartawan di Bengkulu juga menyerukan agar aparat penegak hukum menindak tegas pelaku intimidasi.
“Kami mendesak polisi untuk mengusut motif di balik tindakan itu. Jangan sampai ada intervensi dari pihak yang ingin menutupi dugaan penyimpangan proyek,” kata salah satu pengurus organisasi pers daerah.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A., mengecam keras tindakan tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk teror terhadap jurnalis independen.
“Kejadian seperti ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman masyarakat dan pihak-pihak tertentu terhadap peran pers. Aparat harus bertindak cepat, karena pembiaran hanya akan memperkuat iklim anti-kritik dan melemahkan demokrasi,” tegas Wilson.
Beberapa pemerhati jurnalistik menambahkan bahwa kekerasan terhadap wartawan kerap terjadi karena lemahnya penegakan hukum dan kurangnya edukasi publik tentang hak-hak pers.
“Kekerasan terhadap wartawan adalah bentuk represi terhadap informasi publik. Polisi dan Dewan Pers perlu memperkuat sinergi dalam melindungi jurnalis di lapangan,” ujarnya.
Insiden di Rejang Lebong ini menjadi pengingat bahwa kerja jurnalistik di lapangan masih penuh risiko, terutama ketika menyangkut isu proyek pemerintah yang sarat kepentingan.
Kebebasan pers merupakan pilar demokrasi. Ancaman terhadap jurnalis sama artinya dengan ancaman terhadap hak publik untuk mengetahui kebenaran. Masyarakat kini menanti langkah tegas aparat hukum agar insiden ini tidak menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. (Hd)





































Discussion about this post